sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Politik sindiran jelang pencoblosan

Saling sindir politikus jelang pemilihan makin santer. Tak hanya di panggung kampanye, tapi juga di media sosial.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 14 Jan 2019 21:09 WIB
Politik sindiran jelang pencoblosan

Miskin gagasan

Selain di dunia nyata, para politikus juga sindiran-menyindir di ranah media sosial. Politikus seperti Andi Arief dan Fadli Zon misalnya, acapkali menyindir pemerintahan Jokowi di akun Twitter mereka.

Menanggapi hal ini, pengamat media sosial Ismail Fahmi mengatakan, sindiran yang dilakukan para politikus di media sosial, karena mudah menarik minat publik.

“Ketika ada kontestasi, ada dua cara untuk menarik massa. Yang positif dengan gagasan, sedangkan yang negatif dengan nyinyir (menyindir),” kata Ismail saat dihubungi, Senin (14/1).

Menurut Ismail, isu-isu publik yang berat, hanya bisa dinikmati oleh kelas elite saja. Sedangkan mayoritas masyarakat, kata Ismail, masih belum bisa menangkap isu-isu semacam itu.

“Massa pemilih tidak cerdas-cerdas amat, makanya nyinyiran (sindiran) lebih laku daripada gagasan,” ujar Ismail.

Hasil riset Ismail Fahmi terhadap pengguna Twitter yang difokuskan pada Universitas Indonesia. (Dokumentasi Ismail Fahmi).

Lebih lanjut, dia berujar, selama masa kampanye ini, kubu nomor urut 02 lebih sering menyindir daripada kubu nomor urut 01. Alasannya, menurut Ismail, kubu nomor urut 02 belum ada capaian. Maka, yang dilakukan hanyalah mengejek.

Sponsored

“Di Twitter, saya lihat omongan (warganet) tentang capaian (pemerintahan Jokowi) tidak menarik dibandingkan sindiran yang sifatnya emosional,” ujar Ismail.

Budaya sindir-menyindir ini tidak Ismail temui saat dia berkunjung ke beberapa negara di Eropa, seperti Estonia dan Finlandia. Menurutnya, sistem pendidikan dan perguruan tinggi ikut andil dalam menciptakan budaya saling sindir di Indonesia.

Ismail mengisahkan, dia pernah meriset tiga akun Twitter universitas di Amerika Serikat, seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT), Harvard University, dan Stanford University. Percakapan warganet dalam akun-akun tersebut masih terkait dengan keilmuan, seperti artificial intelligence (kecerdasan buatan) ataupun teknologi.

“Sebaliknya, di akun-akun Twitter universitas-universitas di Indonesia, percakapannya tak ada yang berbicara soal keilmuan. Percakapan kita miskin gagasan,” ujarnya.

Di sisi lain, menurut Ujang Komarudin, politik menyindir kubu lawan itu akan berbahaya. Sebab, bila lawannya menyerang balik, yang terjadi adalah politik akan diisi dengan pertentangan.

Lebih lanjut, Ujang menuturkan, saling sindir dan serang para politikus tak akan berpengaruh terhadap elektabilitas. Namun, berpengaruh terhadap psikologi masyarakat.

“Misalnya, masyarakat menjadi jenuh dan bosan atas kampanye yang ada,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid