close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota Komisi IX DPR, Surya Utama atau yang akrab dikenal dengan nama Uya Kuya. Foto Ist.
icon caption
Anggota Komisi IX DPR, Surya Utama atau yang akrab dikenal dengan nama Uya Kuya. Foto Ist.
Peristiwa
Senin, 05 Mei 2025 12:07

Hadapi bonus demografi, Uya Kuya soroti pentingnya vokasi dan matching skill

Keberhasilan Indonesia tidak hanya bergantung pada jumlah penduduk usia produktif, tetapi pada kemampuan menyesuaikan keterampilan.
swipe

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Surya Utama atau yang akrab dikenal dengan nama Uya Kuya, menyampaikan pandangan kritis sekaligus gagasannya terkait tantangan dan peluang Indonesia dalam menghadapi bonus demografi yang diprediksi terjadi pada 2030. Menurutnya, keberhasilan Indonesia tidak hanya bergantung pada jumlah penduduk usia produktif, tetapi pada kemampuan mereka menyesuaikan keterampilan dengan kebutuhan industri.

“Indonesia ini memang diuntungkan dengan bonus demografi. Pada 2030, lebih dari 68% penduduk kita akan berada di usia produktif. Tapi jumlah itu saja tidak cukup,” ujar Uya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Kementerian Ketenagakerjaan di DPR, Senin (5/5).

Menurut Uya, persoalan mendasar yang masih dihadapi Indonesia saat ini adalah tingginya angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara keterampilan (skill) sumber daya manusia (SDM) dengan kebutuhan lapangan kerja. Ia menyebutnya sebagai masalah mismatch skill.

“Banyak pengangguran terjadi karena skill yang dimiliki SDM kita tidak cocok dengan kebutuhan lapangan kerja. Ini yang harus segera dibenahi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Uya mencontohkan beberapa negara seperti Brasil dan Afrika Selatan yang gagal memanfaatkan bonus demografi karena kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kualitas SDM. Ia mengingatkan agar Indonesia tidak mengalami hal serupa.

Menyoroti program pemerintah seperti School to Work Transition dan pelatihan vokasi, Uya menekankan pentingnya penyesuaian kurikulum dengan perkembangan teknologi yang cepat. Ia mencontohkan bagaimana perubahan gaya hidup dan inovasi teknologi telah mengubah berbagai sektor pekerjaan.

“Dulu ada ojek pangkalan, sekarang jadi ojol (ojek online). Toko fisik sekarang beralih ke toko online. Bahkan call center pun sudah mulai digantikan mesin penjawab otomatis. Digital bank mulai mengurangi kebutuhan akan teller. Itu semua akibat perkembangan teknologi,” jelasnya.

Uya juga mengusulkan agar program vokasi lebih fokus pada pengembangan minat dan bakat anak muda. Misalnya, mereka yang tertarik di bidang teknologi informasi bisa diarahkan ke pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau game coding. Sementara yang aktif di media sosial, menurutnya, bisa dilatih menjadi ahli digital marketing.

“Yang suka gambar, bisa belajar desain grafis atau digital advertising. Yang hobi menjahit, bisa diarahkan buat bikin fashion brand sendiri. Harus ada pelatihan sekaligus dukungan untuk memasarkan karya mereka secara daring,” tegasnya.

Selain itu, ia menekankan pentingnya sinergi antarkementerian untuk mendukung lulusan vokasi menjadi wirausahawan. Salah satu bentuknya adalah dengan memfasilitasi akses kredit mikro dengan bunga rendah.

Tak hanya untuk pasar domestik, Uya juga menyoroti peluang tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Ia menyebut program triple win yang mengirimkan perawat Indonesia ke Jerman sebagai contoh program yang belum dimaksimalkan.

“Sudah beberapa tahun berjalan, tapi yang diberangkatkan masih sangat sedikit, padahal gajinya besar. Salah satu masalahnya mungkin karena tidak ada pelatihan bahasa Jerman sejak dini,” kata Uya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan