Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengundang sejumlah advokat senior untuk memberi masukan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU), Rabu (5/3). Salah satu catatan yang disampaikan kalangan advokat terhadap KUHAP adalah terkait restorative justice atau keadilan restoratif.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Luhut MP Pangaribuan, menyoroti mekanisme restorative justice yang diatur dalam draf RUU KUHAP. Menurutnya, penerapan restorative justice dalam hukum pidana harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak merusak prinsip dasar sistem peradilan pidana.
“Harus kita ingat, kita ini berbicara dalam ranah hukum pidana. Kita membedakan norma hukum publik dan privat,” kata Luhut.
Ia menegaskan tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan melalui mekanisme perdamaian atau restorative justice. Jika penerapan restorative justice tidak dikaji secara matang, bisa berisiko mengganggu fondasi hukum pidana yang telah berlaku.
“Kalau tiba-tiba yang publik itu pidana didamaikan, hancur kan fondasi hukum kita,” ujarnya.
Restorative justice sendiri merupakan pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana yang lebih menitikberatkan pada pemulihan kerugian korban dan penyelesaian konflik di luar pengadilan. Meskipun pendekatan ini banyak diterapkan di berbagai negara maju, penggunaannya dalam KUHAP harus tetap mempertimbangkan batasan-batasan yang jelas agar tidak merusak sistem peradilan pidana yang ada.
Revisi KUHAP ini merupakan bagian dari upaya Indonesia dalam menyesuaikan sistem peradilannya dengan perkembangan hukum modern. Selain memastikan adanya perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik, pembaruan ini juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sistem hukum pidana di Indonesia.
Komisi III DPR menargetkan draf RUU KUHAP rampung pada April 2025. Revisi ini diharapkan dapat menghadirkan sistem peradilan yang lebih modern, transparan, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.
“Saran saya, ini bulan Maret, April, Mei, Juni. April harusnya selesai draf dari DPR,” ujar Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, dalam rapat tersebut.
Komisi III DPR tidak hanya menyusun revisi KUHAP secara internal, tetapi juga aktif menjaring aspirasi dari berbagai kalangan. Selain advokat, juga melibatkan akademisi dan praktisi hukum.
Setelah pembahasan internal di DPR, draf revisi ini akan dibuka untuk partisipasi publik guna memastikan aturan yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan prinsip-prinsip keadilan.
“Setelah itu, ini draf kita lepas ke partisipasi publik, dan partisipasi publik dari para advokat adalah membuat norma-norma itu secara detail kepada kita,” ujar Hinca.
Pendekatan ini menegaskan revisi KUHAP bukan hanya hasil kerja legislatif, tetapi juga produk dari dialog konstruktif dengan berbagai pemangku kepentingan.
Dengan target penyelesaian pada April 2025, revisi KUHAP segera memasuki tahap pembahasan lebih lanjut bersama pemerintah dan masyarakat luas. Ini adalah momentum penting bagi Indonesia untuk membangun sistem peradilan yang lebih adaptif, progresif, dan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Langkah ini membawa harapan besar bagi masa depan hukum Indonesia, sebagai sebuah sistem hukum yang tidak hanya tegas dalam menegakkan keadilan, tetapi juga mampu melindungi hak-hak setiap warga negara.