AS terancam gagal bayar utang, Demokrat 'sentil' Sri Mulyani
Syarief mengatakan, Menkeu selalu ingin meniru rasio utang AS yang berada di atas 100%.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan, mengingatkan pemerintah belajar dari kasus Amerika Serikat (AS) yang sedang terseok-seok karena utang. AS kini berpotensi krisis karena terancam gagal bayar utang.
"Selama ini, Menkeu selalu ingin meniru rasio utang AS yang berada di atas 100% dan menganggapnya aman. Namun, terbukti, Amerika Serikat kini krisis utang," kata Syarief dalam keterangannya, Jumat (1/10/2021).
Menurut Wakil Ketua MPR ini, pemerintah perlu mengurangi penggunaan utang luar negeri sebagai pembiayaan pengelolaan negara. Sebab, utang Indonesia saat ini semakin bertumpuk dan berpotensi gagal bayar, bahkan dapat membahayakan keuangan nasional.
Lebih dari itu, jelas Syarief, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah mengingatkan potensi gagal bayar utang. Ia kemudian merujuk pada laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang menyebut utang Indonesia mencapai Rp6.626,4 Triliun atau mencapai 59,70% dari aset negara.
Persentase ini, jelasnya, melebihi rekomendasi dari IMF sebesar 25-35%. “Setahun sebelumnya, rasio utang masih 37%, lalu merangkak 38,5%, dan kini telah mencapai 41,64%. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang Indonesia sangat buruk," bebernya.
"Kami sejak awal selalu mengingatkan Kemenkeu, namun selalu dianggap aman, padahal kita berpotensi gagal bayar juga,” lanjutnya.
Ia melanjutkan, pengelolaan keuangan negara pada Kuartal II-2021 semakin memprihatikan. Ia merujuk pada berbagai kajian akademis bahwa persentase utang Indonesia terhadap aset negara kini telah mencapai 59,70%.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah memperhatikan rekomendasi International Monetary Fund dan BPK sebagai lembaga yang kompeten dalam urusan keuangan. "Indikator kerentanan utang tahun 2020 Indonesia berasal dari hasil kajian BPK yang menyebut melampaui batas rekomendasi IMF dan International Debt Relief (IDR). Selama ini, kita selalu menjadikan Amerika Serikat sebagai patokan, tapi mereka akhirnya colaps juga," ungkap Syarief Hasan.
Pemerintah, katanya, perlu melihat sektor yang lebih prioritas. Ia melihat selama ini pembangunan infrastruktur yang belum krusial terus masif dilakukan dan menyedot banyak anggaran negara.
"Padahal, pemerintah harusnya lebih memprioritaskan penumbuhan dan penguatan ekonomi nasional sehingga mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri," pungkasnya.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Mewujudkan e-commerce inklusif bagi penyandang disabilitas
Kamis, 30 Nov 2023 16:09 WIB
Potret kebijakan stunting dan pertaruhan Indonesia Emas 2045
Senin, 27 Nov 2023 16:01 WIB