Indonesia perlu belajar dari Eropa melindungi buruh aplikasi
Negara-negara Eropa mulai mengeluarkan regulasi untuk mengatur hubungan kerja antara perusahaan aplikasi dan para mitra.

Jenuh dengan rutinitasnya sebagai akuntan di sebuah bank di Ho Chi Minh, Vietnam, Kim-Ly mengundurkan diri pada 2010. Melalui aplikasi digital, Kim-Ly kemudian menemukan pekerjaan baru sebagai penginput data bagi sebuah perusahaan multinasional.
Perkerjaan itu mengharuskannya stand-by selama delapan jam sehari pada waktu yang telah ditentukan oleh perusahaan. Per jam, kerja perempuan lulusan jurusan ekonomi itu dihargai US$8. Jika ditotal per bulan, angka itu empat kali lebih besar dari gaji Kim-Ly saat berkerja di bank.
Kim-Ly bahagia. Tak punya tanggungan, situasi finansialnya memungkinkan dia untuk belanja barang-barang mewah dan berwisata ke berbagai belahan dunia.
"Teman-teman saya cemburu. Mereka bilang, 'Kenapa kamu selalu liburan ke mana-mana?' Saya bilang, 'Keluar dari pekerjaan yang sekarang dan cari kerjaan seperti saya'," tutur Kim-Ly.
Tetapi, itu tak lama. Kontrak Kim-Ly di perusahaan itu tiba-tiba dibatalkan. Meski kerjaannya masih sama, bos Kim-Ly berganti. Klien baru hanya mematok harga sebesar US$4 per jam bagi peluh Kim-Ly.
Tak punya posisi tawar, Kim-Ly pasrah. "Kamu harus benar-benar istimewa untuk meminta kenaikan upah. Saya kira level saya belum sampai sana," tutur dia.
Cerita serupa diungkap Tala, 26 tahun, seorang asisten virtual di Filipina. Pada mulanya, ia digaji US8$ per jam. Namun, setelah tawaran kerja kian langka dan persaingan semakin ketat, ia menurunkan rate upahnya hingga US$4 per jam.
"Kini, saya bahkan mematok upah US$3,5 per jam. Kalau kamu tidak dapat banyak tawaran, kamu tidak punya pilihan lain selain menurunkan ekspektasi," kata Tala.
Di Nairobi, Kenya, Ashon, seorang asisten virtual seperti Tala, juga punya nasib serupa. Karena kliennya di Kanada mengubah isi kontrak sepihak, ia terpaksa mengencangkan ikat pinggang dan pindah kontrakan ke kawasan yang lebih murah.
Kisah Kim Ly, Tala, Ashon dan kisah-kisah lainnya itu dikumpulkan Mark Graham dalam "Digital labour and development: impacts of global digital labour platforms and the gig economy on worker livelihoods" yang dipublikasi di Jurnal SAGE pada 2017.
Dalam risetnya itu, Graham mewawancarai puluhan pekerja lepas dan buruh digital di negara-negara Afrika dan Asia Tenggara. Ia menemukan kebanyakan buruh digital tak punya posisi tawar ketika berhadapan dengan klien-klien mereka.
"Data kualitatif kami lantas menunjukkan ketidakberdayaan para pekerja digital, minimnya posisi tawar, dan balapan menuju upah terendah. Faktor-faktor itu terkadang berdampak negatif terhadap kehidupan mereka," tulis Graham.
Riset yang dilakoni Graham juga menemukan maraknya diskriminasi terhadap pekerja digital. Buruh digital di negara-negara Afrika, misalnya, kerap dihargai lebih rendah ketimbang buruh di negara-negara maju.
William, ahli search engine optimization (SEO) asal Kenya yang diwawancara Graham, mengaku harus mengubah domisilinya di profil daring supaya mendapat lebih banyak kerjaan dengan gaji yang layak. "Banyak klien William percaya dia tinggal di Australia," tulis Graham.
Selain itu, upah dan tawaran pekerjaan juga kerap dipengaruhi oleh rating dan sistem peringkat. Mereka yang peringkat dan rating-nya cemerlang lebih mudah mendapat perkerjaan dengan gaji yang sesuai ekspektasi. Padahal, jenis dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan serupa dengan buruh digital lainnya.
Survei International Labour Organization (ILO) yang dirilis pada 2018 menunjukkan hal serupa. Dari 3.500 buruh digital mikro yang disurvei dari 75 negara, mayoritas menyatakan tak digaji layak dan tidak punya perlindungan kesehatan.
"Proteksi sosial minim. Hanya enam dari sepuluh responden yang dilindungi asuransi dan hanya sekitar 35% yang punya dana pensiun. Dalam kebanyakan kasus, proteksi itu diperoleh responden dari pekerjaan luringnya," tulis ILO.
Dalam survei itu, ILO mengklasifikasi para buruh aplikasi ke dalam dua kategori utama, yakni berbasis web dan lokasi. Buruh berbasis web semisal pekerja microtasking (penginput data, perekam, pentranskrip, dan lainnya), pekerja lepas, dan pekerja kreatif berbasis kompetisi.
Buruh berbasis lokasi, semisal mereka yang bekerja di bidang penyedia jasa akomodasi penginapan seperti Air BnB, sektor transportasi semisal driver Uber dan Lyft, jasa logistik, layanan antar, house cleaning, dan pekerja microtasking lokal.
Menurut survei, kebanyakan responden mengeluhkan kerap diperlakukan tak adil oleh perusahaan aplikasi dan klien mereka. Dari sepuluh responden, delapan di antaranya mengklaim pekerjaannya sering tidak diakui dan tidak dibayar. "Hanya 12% yang mengaku layak mendapat perlakuan seperti itu," tulis laporan itu.
Bau eksploitasi pekerja aplikasi di Indonesia
Di Indonesia, kasus-kasus serupa marak. April lalu, misalnya, kurir Shopee Express (SPX) mogok lantaran menolak pemotongan upah yang diberlakukan perusahaan aplikasi yang berbasis di Singapura itu. Dari Rp 5.000 per paket, tarif layanan antar paket kurir SPX turun bertahap, menjadi Rp.3500 per paket hingga Rp1.800 per paket.
Executive Director Shopee Indonesia Handika Jahja mengklaim penurunan tarif disesuaikan dengan rerata upah kurir di pasaran. Menurut dia, perusahaan penyedia jasa logistik umumnya mematok upah kurirnya di kisaran Rp1.700-Rp2000 per paket.
Selama beberapa tahun terakhir, para pengemudi ojek online (ojol) juga rutin mogok dan menggelar aksi unjuk rasa guna menuntut perbaikan upah dan pengakuan negara terhadap profesi ojol. Aksi unjuk rasa mulai mereda setelah Permenhub Nomor PM 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dirilis.
Dalam riset bertajuk "Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja “Mitra” Industri Transportasi Online", Arif Novianto, Anindya Dessi Wulansari, dan Ari Hernawan, menemukan bahwa terdapat pola hubungan kerja eksploitatif antara pengemudi ojol dan kurir daring dengan perusahaan penyedia aplikasi.
Mereka mewawancara 290 pengemudi ojol di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali pada Juni-Oktober 2020. Setidaknya ada empat temuan yang menunjukkan hubungan kemitraan yang diterapkan Gojek, Grab, Shopee Express hingga Maxim bersifat semu.
Pertama, setiap keputusan penting dalam proses kerja merupakan kewenangan perusahaan platform. Kedua, perusahaan mengontrol proses kerja ojol. Kontrol itu dilakukan melalui tiga cara: sanksi, penilaian konsumen, dan bonus.
"Pada kenyataannya, perusahaan aplikasi mengendalikan para ojol sebagaimana kontrol yang sering kita temui di industri manufaktur dengan hubungan antara buruh dan pengusaha," tulis Ari dan kawan-kawan.
Ketiga, perusahaan memonopoli akses informasi dan data yang dikumpulkan oleh para ojol. Data konsumen itu bahkan tertutup bagi pemerintah dan peneliti.
Terakhir, praktik hubungan kerja antara perusahaan platform dan ojol itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan peraturan pemerintah (PP) turunan UU tersebut.
Praktik hubungan kerja yang dijalankan dinilai tidak menerapkan prinsip-prinsip kemitraan yang tertera dalam UU, yaitu saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Pada Pasal 26 UU UMKM, kemitraan disebut bisa dilaksanakan dengan pola inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi, dan keagenan, dan bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluasan (outsourcing).
Dalam penjelasan mengenai kemitraan bagi hasil di regulasi itu--model yang paling dekat menjelaskan hubungan kerja antara mitra dan perusahaan aplikasi seperti GoJek, Grab, Shopee dan kawan-kawan--tidak dijelaskan secara gamblang mengenai tanggung jawab usaha besar terhadap mitranya. Yang ditegaskan hanya adanya kontribusi dan keuntungan atau kerugian yang ditanggung masing-masing pihak sesuai perjanjian yang disepakati.
Dengan konsep semacam itu, perusahaan merasa tidak memiliki kewajiban untuk memberikan hak-hak pekerja sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kekosongan regulasi untuk melindungi para buruh aplikasi itu setidaknya diakui Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah. Ida mengatakan kementeriannya terbuka terhadap gagasan pemberian perlindungan kesehatan dan ketenagakerjaan bagi pekerja berstatus mitra.
Itu bisa dilakukan dengan mewajibkan pemberi kerja untuk mengikutsertakan para mitra dalam program jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. "Hal ini penting untuk dapat meng-cover risiko-risiko sosial yang mungkin akan terjadi saat mitra bekerja," kata dia.
Berkaca pada negara-negara di Eropa
Buruh atau pekerja aplikasi merupakan terminologi generik untuk meringkus jenis pekerja yang menggunakan aplikasi atau internet menghubungkan mereka dengan klien dengan imbalan uang untuk pekerjaan yang mereka lakukan.
Jenis pekerjaan ini muncul lantaran perkembangan internet yang masif sejak dekade 1990-an. Namun demikian, perkembangan itu lambat diantisipasi lewat regulasi. Alhasil, masih banyak negara yang kebingungan menempatkan posisi buruh aplikasi dalam hubungan kerja dengan perusahaan.
Di Inggris, Uber mulai mengklasifikasi para pengemudinya sebagai pekerja mereka pada Maret 2021. Itu dilakukan setelah pengadilan tertinggi Inggris mengeluarkan putusan dalam kasus Uber vs Aslan and Others sebulan sebelumnya. Pengadilan menyatakan pengemudi Uber berhak mendapat sejumlah insentif, semisal upah minimum, tunjangan berlibur, dan akses terhadap dana pensiun.
Berbeda dengan sejumlah negara Eropa, Inggris punya tiga kategori untuk mengklasifikasikan buruh, yakni mitra kerja (self employed), pekerja (worker), dan pegawai (employee). Dalam regulasi perburuhan di negara itu, hanya pekerja dan pegawai yang wajib diberikan perlindungan oleh perusahaan.
Mengingat Inggris merupakan negara yang menganut sistem hukum common law, putusan pengadilan itu dipastikan bakal jadi yurisprudensi untuk meregulasi dan memposisikan hubungan antara perusahaan dan para buruh aplikasi di negara tersebut.
Putusan yang dikeluarkan dalam kasus Uber vs Aslan and Others serupa dengan yang dirilis pengadilan tertinggi Prancis (Cour de Cassation) pada 1996. Dalam putusan itu, pengadilan mewajibkan perusahaan mengklasifikasikan para buruh aplikasi sebagai pekerja jika terjadi hubungan subordinasi antara perusahaan dan pekerja.
Secara teori, jika tidak ingin mitranya dikategorikan sebagai pekerja, maka perusahaan aplikasi tidak boleh mengontrol para mitra lewat instruksi dan sanksi, mengatur jam kerja dan tarif mereka, serta membebaskan para mitra untuk menerima atau menolak pesanan.
Klasifikasi ulang para mitra memang tak serta-merta terjadi secara masif. Baru pada 2017, pengadilan Prancis mengklasifikasikan seorang pengemudi taksi perusahaan aplikasi Le Cab sebagai pegawai perusahaan tersebut karena keberadaan klausa ekslusivitas dalam kontrak sang pengemudi dengan perusahaan.
Di Spanyol, setelah perdebatan panjang selama berbulan-bulan, parlemen akhirnya mengesahkan sebuah undang-undang untuk meregulasi layanan antar makanan bertajuk "Rider Law", awal pekan lalu. Dalam regulasi berbasis yurisprudensi itu, semua kurir layanan antar makanan berbasis aplikasi di negara tersebut harus diklasifikasikan sebagai pegawai.
Februari lalu, Uni Eropa juga mulai membahas regulasi untuk memberikan perlindungan bagi para buruh aplikasi. Inisiatif untuk memperkuat perlindungan terhadap para pekerja aplikasi itu direncanakan rampung pada akhir 2021.
"Kita harus memaksimalkan potensi pekerjaan yang dilahirkan aplikasi-aplikasi digital dan juga memastikan martabat, penghormatan, dan perlindungan bagi orang-orang yang bekerja menggunakan aplikasi tersebut," kata Commissioner for Jobs and Social Rights UE Nicolas Schmit.
Indonesia mestinya tak ketinggalan. Apalagi, sejumlah statistik mengindikasikan pentingnya regulasi untuk mengatur buruh aplikasi: Indonesia setidaknya punya 82 juta pengguna internet, 4 juta pengemudi ojol, lebih dari dua ribu perusahaan rintisan, empat unicorn, dan butuh setidaknya lebih dari 100 juta pekerja digital pada 2025.
Tanpa adanya regulasi yang jelas untuk mengatur hubungan kemitraan, konflik antara perusahaan dan mitra, konsumen dengan perusahaan aplikasi, atau bahkan mitra dengan konsumen bakal terus mengemuka. Pola kerja eksploitatif pun bakal langgeng.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Mewujudkan e-commerce inklusif bagi penyandang disabilitas
Kamis, 30 Nov 2023 16:09 WIB
Potret kebijakan stunting dan pertaruhan Indonesia Emas 2045
Senin, 27 Nov 2023 16:01 WIB