sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

MK "dikadali", kenapa tagar Reformasi Dikorupsi tak menyembul lagi? 

Protes mahasiswa dan masyarakat sipil terhadap skandal MK tak 'segila' saat menolak revisi UU KPK dan RKUHP pada 2019.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 18 Nov 2023 19:31 WIB
MK

Skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi kontestan Pilpres 2024 sempat bikin heboh publik selama bebebera pekan. Namun, protes terhadap bau nepotisme dalam putusan itu terkesan biasa saja. Tak ada gelombang aksi unjuk rasa besar yang diinisiasi kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil. 

Aktivis gerakan Reformasi 1998, Petrus Hariyanto memandang perlu upaya keras untuk membangkitkan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Menurut dia, mahasiswa dan publik sedang dalam sedang "dibius" rezim penguasa. Parpol dan aparat tengah digerakkan untuk memecah isu dan membangun citra kandidat tertentu. 

"Sekarang ini isu tidak tunggal atau terfokus. Masyarakat pun jadi terbelah mengikuti isu pilpres. Ada kekuatan yang tidak menghendaki isu soal tersebut meluas dan menjadi sangat besar," kata Petrus kepada Alinea.id di Jakarta, Jumat (17/11).

Pada September 2019, mahasiswa dan kelompok sipil sempat kembali turun ke jalan memprotes pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan rencana pemerintah mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). 

Tak hanya di Jakarta, aksi unjuk rasa bertagar Reformasi Dikorupsi itu digelar secara masif selama berhari-hari di berbagai daerah. Tekanan publik itu bikin rezim Jokowi goyah. Meskipun revisi UU KPK tetap berlaku, mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil sukses menunda pengesahan revisi KUHP. 

Petrus menyayangkan sikap kelompok mahasiswa yang cenderung permisif dengan tingkah laku rezim Jokowi. Menurut dia, skandal rekayasa hukum di MK dan hasrat Jokowi untuk membangun dinasti politik telah membawa demokrasi ke pinggir jurang. 

"Padahal, isu (nepotisme dalam putusan MK) tersebut sangat penting direspons karena telah menarik mundur proses demokratisasi. Pemilu dicederai oleh proses hukum yang diintervensi oleh penguasa," kata Petrus.

Sempat menolak pinangan sebagai cawapres karena alasan pengalaman dan regulasi, Gibran mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres usai MK merilis putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Oktober lalu. Putusan itu merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu. 

Sponsored

Dalam putusannya, MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk berkompetisi menjadi capres dan cawapres. Syaratnya, sang calon harus pernah dipilih atau menjabat menjadi kepala daerah. Saat putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman, Gibran masih berusia 36 tahun. Anwar ialah besan Jokowi alias paman Gibran. 

Tak lama setelah putusan itu, Majelis Kehormatan MK dibentuk untuk mengivestigasi dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua MK. Usman telah diputus melanggar etika dan dicopot dari kursi Ketua MK karena terlibat dalam pembahasan dan merilis putusan itu di sidang MK.

Selain diprotes kalangan pakar hukum tata negara, sejumlah budayawan dan seniman juga angkat suara menghujat indikasi nepotisme dalam putusan nomor 90. Meski begitu, putusan itu masih tetap berlaku. Saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi memberikan nomor urut bagi pasangan Prabowo-Gibran. 

Menurut Petrus, suara kritis yang disampaikan kaum intelektual dan budayawan patut menjadi perhatian kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil. Jika dibiarkan, ia khawatir gejala otoritarianisme yang menguat pada era Jokowi akan berlanjut seandainya pasangan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024 dan berkuasa. 

"Termasuk (pakar politik UI) Ikra Nusa Bhakti. Kita harus berani bersuara di tengah kekuasaan rezim yang semakin membatasi gerakan dan kebebasan bersuara. Semisal, (jurnalis nonaktif) Aiman Witcaksono yang akan diperiksa polisi karena ada laporan dari kubu KIM (Koalisi Indonesia Maju). Jangan sampai dinasti politik menduduki kekuasaan," kata Petrus. 

KIM ialah koalisi parpol pengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Selain Gerindra, KIM beranggotakan tiga parpol penghuni parlemen, yakni Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang saat ini dipimpin putra bungsu Jokowi juga turut mendukung Prabowo-Gibran. 

Gugah kesadaran 

Juru bicara (jubir) Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Tama S Langkun, berkata koalisi Ganjar-Mahfud bakal terus mengingatkan publik akan bahaya otoritarianisme era Jokowi yang saat ini terkesan dianggap remeh oleh kelompok mahasiswa. Ia mengakui menggugah kesadaran publik terkait itu bukan pekerjaan mudah. 

"Menggerakkan massa itu perlu diskusi berulang dan stimulan berulang- ulang. Perkara Aiman bicara seperti itu saja kok dilaporkan? Responsnya keras banget. Itu hal yang kita khawatirkan kembali berulang dan intensi semakin keras dan berbanding lurus sama gerakan massa," kata Tama kepada Alinea.id, Jumat (17/11).

Tama mengatakan seharusnya mahasiswa dan masyarakat sipil tak tinggal diam menyikapi situasi politik saat ini. Apalagi, elite-elite politik juga sudah sepakat terjadi regresi demokrasi di pengujung pemerintahan Jokowi. Ia mencontohkan narasi protes yang disuarakan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri, eks Wapres Jusuf Kalla, Ketum NasDem Surya Paloh, budayawan Goenawan Mohammad, dan tokoh-tokoh lainnya. 

"Semua gelisah dengan situasi sekarang. Itu menjadi indikator untuk melawan. Kami sendiri berusaha hadir di ruang publik. Seperti yang Mahfud MD sampaikan, kita akan bersama masyarakat sipil yang sekarang sedang berjuang mencegah kecurangan," ucap Tama.

Dalam pidato singkatnya di akun Youtube PDI-P, Megawati sempat mengungkap kegelisahannya sebagai salah satu tokoh inisator era Reformasi. Ia menyebut ada penyelewengan hukum di MK. Padahal, MK sengaja dibangun di ring 1 Istana demi menjaga agar kekuasaan tak menyimpang. 
 
Analis politik dari Universitas Padjajaran Idil Akbar menilai tak semua kelompok mahasiswa apatis menyikapi isu dinasti politik yang menyeret nama Jokowi. Ia menyebut banyak mahasiswa yang muak dengan tingkah politisi yang membiarkan manuver Jokowi memuluskan Gibran sebagai cawapres. 

"Saya membaca bahwa generasi muda melihat hal itu (skandal MK yang meloloskan Gibran) tidak patut dilakukan. Mereka memperhatikan tingkah laku keluarga Jokowi dan anak-anaknya," ucap Idil kepada Alinea.id, Jumat (17/11).

Lebih jauh, Idil mengatakan bukan bukan tidak mungkin kelompok mahasiswa kembali bergerak turun ke jalan untuk memprotes rezim Jokowi. Namun, butuh waktu untuk menggugah persepsi publik terkait betapa bahayanya politik dinasti yang tengah dibangun Jokowi. 

"Politik dinasti yang dimainkan oleh keluarga Jokowi kemudian itu akan mengarah pada persoalan figur yang muncul, baik itu Kaesang, Gibran dan keluarganya. Seberapa jauh efeknya, kita harus lihat. Biar bagaimana pun, itu tentang pengukuran persepsi. Tapi, gejala itu ada. Tentu saja ini bakal punya efek perubahan yang signifikan," kata Idil.
 

Berita Lainnya
×
tekid