sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penguatan LHKPN dan RUU PA: Efektif jerat pejabat korup?

Di DPR, RUU Perampasan Aset kembali dibahas. Di KPK, regulasi terkait pelaporan LHKPN tengah disusun.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Sabtu, 18 Mar 2023 14:52 WIB
Penguatan LHKPN dan RUU PA: Efektif jerat pejabat korup?

Pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo resmi dipecat Kemenkeu, dua pekan lalu. Rafael dicopot lantaran berperilaku tak wajar dan tidak melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) secara benar. 

Sebelumnya, Rafael jadi bulan-bulanan warganet usai penganiayaan yang dilakukan putranya, Mario Dandy terhadap David Ozara, putra petinggi GP Ansor. Penganiayaan itu sempat menyebakan David tak sadarkan diri. Mario kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu. Seiring itu, isu mengenai harta dan gaya hidup keluarga Rafael mencuat ke publik. 

Pusat Penelusuran Aset dan Transaksi Keuangan (PPATK) turut membidik Rafael. Pada periode 2019-2023, PPATK menemukan mutasi dana Rp500 miliar dari 40 rekening bank atas nama Rafael, keluarganya, serta perusahaan atau badan hukum yang terkait dengannya. PPATK telah memblokir puluhan rekening bank tersebut.

Awal Maret lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil Rafel untuk dimintai klarifikasi. Berbasis data LHKPN, Rafael melaporkan kekayaan sebesar Rp56 miliar. Kekayaan Rafael hanya terpaut sedikit dengan Menkeu Sri Mulyani, yakni Rp58 miliar.

Selain Rafael, komisi antikorupsi turut meminta klarifikasi LHKPN Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono. Berdasarkan LHKPN-nya, Andhi punya kekayaan Rp13,7 miliar. Andhi menjadi sorotan usai warganet mendapati keluarganya doyan pamer kemewahan di media sosial. 

Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur Wahono Saputro turut dimintai klarifikasi LHKPN oleh KPK. Nama Wahono muncul setelah komisi antisuap menelisik harta Rafael. Dalam LHKPN-nya, Wahono melaporkan kekayaan sebesar Rp14,3 miliar.

Dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3)  lalu, Sri Mulyani mengatakan terdapat 964 pegawai di instasinya yang diduga memiliki harta yang tidak wajar.  

"Jadi, 964 itu akumulasi jumlah pegawai yang diidentifikasi oleh kami Kemenkeu atau yang diidentifikasi oleh PPATK,” kata Sri Mulyani. 

Sponsored

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap transaksi mencurigkan senilai Rp300 triliun di Kemenkeu. Sebagian besar transaksi melibatkan pegawai Dirjen Pajak dan Bea Cukai.

Soal itu, Sri Mulyani menyatakan belum bisa berbicara banyak. "Saya belum melihat angkanya, datanya, sumbernya transaksi apa saja yang dihitung, siapa yang terlibat,” kata Sri Mulyani.

Setelah kasus Rafael mengemuka, komisi antikorupsi berencana merevisi Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. KPK ingin mewajibkan seluruh ASN melapor LHKPN.

“Kita ingin lebih bawah lagi (lapor LHKPN). Jangan cuma eselon I, eselon II, tapi yang lebih bawah lagi,” ucap Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan di Jakarta, Kamis (9/3).

Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 7 huruf a Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, lembaga antirasuah berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN.

Pahala menerangkan, potensi penyalahgunaan wewenang bisa terjadi di instansi pelayanan publik yang berinteraksi langsung dengan masyarakat. Dalam prosesnya, penyelewengan tak langsung ke pejabat tinggi.

“Enggak mungkin orang menyuap (langsung ke) kepala kantor, kan pasti (lewat) pegawai bawahnya. Kepala seksi, misalnya, eselon IV, ke bawahnya lagi fungsional,” terangnya.

Juru bicara KPK bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding hanya menjawab ringkas saat ditanya perkembangan revisi aturan LHKPN. “Saat ini masih dalam proses pembahasan,” kata dia saat dihubungi Alinea.id, Senin (13/3).

Mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo dimintai keterangan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan. Alinea.id/Gempita Surya

Perkuat sanksi 

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menerangkan, regulasi terkait LHKPN belum ideal. Pasalnya, pejabat yang wajib menyampaikan LHKPN saat ini adalah pejabat publik eselon I dan II. Padahal, kasus korupsi saat ini kerap melibatkan pejabat eselon III ke bawah. 

"Enggak hanya lapor (LHKPN), tapi (para pejabat negara) juga seharusnya wajib mengikuti proses validasi, audit, dan lain sebagainya. Kewenangan KPK untuk melakukan penelusuran (LHKPN) itu juga enggak cukup kuat,” jelas Alvin saat dihubungi Alinea.id, Selasa (14/3). 

Kekayaan tak wajar pejabat, kata Alvin, sebenarnya bisa dibidik menggunakan delik illicit enrichment sebagaimana tertera dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Namun, perlu ada revisi UU Tipikor supaya delik itu bisa digunakan. 

“Karena kita enggak bisa pidanakan pejabat publik yang enggak bisa membuktikan hartanya hanya dengan LHKPN. Itu dari segi pidananya. Dari segi perdatanya kita kuatkan di RUU PA (Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset),” ucapnya.

Menurut Alvin, RUU PA bisa mengakomodasi metode pembuktian terbalik dalam kasus-kasus penambahan kekayaan tidak wajar para pejabat publik. Metode pembuktian terbalik, kata dia, sudah diberlakukan dengan sangat progresif di sejumlah negara di Eropa.

Sejak 2017, Inggris, misalnya, sudah memiliki instrumen hukum yang memberikan wewenang kepada pengadilan untuk meminta siapa pun menjelaskan asal usul hartanya. 

“Apakah kemudian dia (pihak yang mengajukan) minta pengadilan untuk membawa terdakwa untuk menjelaskan di pengadilan atau langsung merampasnya karena harus dibuktikan terlebih dahulu. Konteksnya di sana. Jadi, sudah jauh lebih progresif," kata dia. 

Soal sanksi pejabat yang tak lapor hartanya, menurut Alvin, regulasi di berbagai negara beragam. Mayoritas sanksi bersifat administratif. Ada yang hanya diminta menggembalikan aset ke negara hingga dicopot dari posisinya. Tetapi, ada pula yang memberlakukan sanksi pidana. 

“Atau beberapa negara sampai mengatur ke pidananya jika, lagi-lagi, dikaitan dengan predicate crime (tindak pidana asal). Jadi, tetap harus dibuktikan dulu. Dalam pembuktian, biasanya dilakukan dengan metode penelusuran aset. Indonesia belum sampai ke tahap itu," kata dia. 

Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan, sanksi untuk pejabat yang tak lapor LHKPN sudah ada di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Namun, sanksi itu hanya berlaku untuk yang tidak melaporkan hartanya. Seharusnya, sanksi juga diberlakukan bagi mereka yang tak jujur dalam mengungkap hartanya.

“Misalnya, orang yang melapor (LHKPN), tapi laporannya tidak benar itu bisa dipidanakan karena dianggap menyembunyikan asetnya secara sengaja. Padahal, sudah jelas di LHKPN semua harus dilaporkan, baik aset yang bergerak maupun tidak bergerak,”ucap Yudi kepada Alinea.id, Senin (13/3).

LHKPN, kata Yudi, penting untuk diperkuat lantaran berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mencegah perilaku korup pejabat. Dengan laporan periodik, KPK bisa mudah mengecek tren atau perubahan kekayaan para pejabat negara.

“Setidaknya, (KPK) bisa melihat tren dari harta para pejabat itu seperti apa. Karena kan ada laporan periodik, satu tahun sekali, bahkan sudah tidak menjabat dia juga wajib untuk mengisi,” jelas anggota Satgas Pencegahan Korupsi Polri itu. 

Lebih jauh, Yudi menilai kasus Rafael dan pejabat-pejabat Kemenkeu yang punya rekening gendut seharusnya jadi momentum untuk mempercepat pengesahan RUU PA. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berulang kali meminta RUU itu dikebut. 

Jika disahkan, menurut Yudi, penegak hukum akan mendapatkan manfaat yang sangat besar. Dengan beleid itu, pengadilan nantinya tidak harus membuktikan tindak pidana asal seseorang yang asetnya membengkak dengan tidak wajar.

“Bisa langsung dimintakan untuk dirampas ketika tidak bisa dibuktikan itu bagaimana kepemilikannya, seperti apa historisnya. Prosesnya sih, saya setuju, tetap di pengadilan. Ya, kita harap tahun ini jadi (RUU disahkan). Kita ingat revisi UU KPK kan secepat kilat. Kok ini enggak?” kata dia.

Setelah lama terkatung-katung, RUU PA kini kembali dibahas di DPR. Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah menjelaskan RUU PA memuat tiga substansi utama, yaitu unexplained wealth, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset.

Unexplained wealth merupakan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana,” ucapnya kepada Alinea.id, Senin (13/3).

Hukum acara perampasan aset, tambahnya, diatur khusus karena di dalam RUU PA ditekankan konsep negara versus aset. Konsep tersebut berbeda dengan hukum acara pidana yang menekankan negara melawan pelaku kejahatan.

“RUU PA juga mengatur mengenai pengelolaan aset yang terdiri dari sembilan jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian aset,” jelasnya.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan pelaporan LHKPN seharusnya memang tidak diberlakukan sebagai ajang formalitas saja. Tak hanya menerima dari pejabat bersangkutan, menurut dia, KPK juga harus bekerja memvalidasi LHKPN pejabat. 

“Orang-orang yang hartanya besar itu juga dimintai laporan analisa dari PPATK, kemudian didalami lagi. Jadi tidak serta merta hanya klarifikasi kepada pejabat yang menyampaikan, tapi juga diklarifikasi ke pihak-pihak lain,” ujar Boyamin kepada Alinea.id

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/8). / Antara Foto

Urgen untuk disahkan

Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto mengatakan RUU PA masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2023. Menurut Didik, RUU PA penting untuk segera dibahas untuk menyediakan payung hukum bagi pemberantasan kejahatan terkait ekonomi, semisal korupsi, narkoba dan perpajakan. 

“Idealnya, perampasan aset hasil tindak pidana bisa menjadi salah satu faktor efek jera bagi pelaku dalam kejahatan ekonomi. Tidak sedikit aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman,” ujar politikus Partai Demokrat itu kepada Alinea.id, Senin (13/3).

Seiring kemajuan teknologi dan informasi, Didik menilai kejahatan ekonomi juga semakin canggih dan rumit. Ia mencontohkan financial engineering dan legal engineering yang tujuannya mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses pengadilan, dan mempersusah proses penyitaan secara konvensional.

“RUU PA ke depan diharapkan mampu menjadi solusi yang komprehensif dalam menangani persoalan aset tindak pidana yang terkendala karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya,” kata Didik.

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman berpendapat RUU PA penting untuk segera disahkan. Menurut dia, RUU PA bisa digunakan jadi payung hukum untuk menarik aset-aset koruptor yang dibawa ke luar negeri. 

Saat ini, Indonesia masih kesulitan untuk menarik aset hasil kejahatan yang dilarikan ke luar negeri. Zaenur mencontohkan kasus Bank Century yang asetnya dibawa lari ke Hong Kong. Pemerintah Indonesia harus melalui pengadilan bertingkat di Hong Kong sebelum bisa merampas aset negara yang dicuri koruptor itu. 

“Ketika pemerintah Indonesia ingin asset recovery dan meminta pemerintah Hong Kong untuk mengembalikan ke Indonesia. Tapi, ditolak. Kenapa? Karena di dalam putusan pengadilan Indonesia itu tidak menyebutkan adanya penyitaan aset-aset tertentu yang berada di Hong Kong,” jelas dia. 

Perampasan aset, jelas Zaenur, merupakan gabungan antara proses pidana, perdata, dan administrasi. Dengan kata lain, regulasi tersebut tidak membuktikan kesalahan seseorang, tetapi bersifat sebaliknya, yakni menentukan harta yang sah dimiliki para pejabat publik.

“Pemilik aset harus membuktikan bahwa asetnya itu diperoleh dari sumber yang sah. Kalau tidak bisa membuktikan dari sumber yang sah, maka dirampas untuk negara. Jika tak segera disahkan, maka untuk menjerat seorang yang memiliki harta tak wajar sangat sulit," kata dia. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid