sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kala membakar rokok lebih penting dari kebutuhan pokok

Cukai rokok efektif tekan kenaikan jumlah perokok termasuk anak-anak.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 01 Nov 2021 08:30 WIB
Kala membakar rokok lebih penting dari kebutuhan pokok

Pukul 06.00, Paiman memulai harinya dengan menyesap kopi hitam Kapal Api ditemani satu hingga dua batang rokok. Rutinitas ini telah berjalan setidaknya sejak tiga dekade lalu dan seingatnya tak pernah terlewat sekalipun, meski pandemi Covid-19 datang. Bedanya, sebelum pagebluk laki-laki 54 tahun itu merokok Dji Sam Soe Kretek, sedang saat ini dirinya beralih mengisap rokok tingwe (linting dewe).

Harga rokok tingwe atau melinting sendiri yang jauh lebih murah menjadi alasan mengapa dia beralih dari rokok pabrikan. “Enggak ada duitnya buat beli (rokok-red) yang biasa,” katanya, saat berbincang dengan Alinea.id, melalui sambungan telepon, Minggu (24/10).

Bagaimana tidak, untuk satu hari warga Purworejo itu harus merogoh kocek sekitar Rp18.000 demi mendapatkan satu bungkus rokok Dji Sam Soe Kretek. Dengan demikian, dalam waktu satu bulan dirinya harus menganggarkan dana sedikitnya Rp540.000. Sementara jika merokok tingwe dia hanya mengeluarkan uang tidak lebih dari Rp200.000 per bulan. 

Ayah delapan anak itu bilang, merokok tingwe adalah satu-satunya jalan alternatif yang harus diambilnya saat pekerjaannya kian sepi karena pandemi. Di saat yang sama, dia juga tak bisa menghentikan kebiasaan merokoknya dengan mudah. Karena baginya, rokok bukan lagi candu, melainkan sudah menjadi bagian hidup.

Ngerokok dari SD. Sempat pingin berhenti karena waktu itu batuk lama enggak sembuh-sembuh. Tapi enggak bisa,” ujar dia.

Paiman bercerita, di awal pandemi, dirinya sempat kelabakan karena pendapatannya sebagai buruh tani merangkap kuli bangunan menurun. Jika sebelumnya dalam sebulan dia dapat menerima upah sekitar Rp2,7 juta, saat pagebluk dua pekerjaan yang dilakoninya hanya mampu memberikan hasil sekitar Rp1 juta. Padahal, saat itu harga rokok ajeg. 

Sebagai siasat, dirinya mengurangi pos-pos pengeluaran pokok rumah tangganya. Mulai dari tagihan listrik hingga jatah belanja sang istri yang juga bekerja sebagai buruh tani merangkap penjual jamu keliling.

“Sebelumnya Rp1 juta jatah istri buat kebutuhan rumah tangga. Sekarang dapatnya cuma segitu. Ya, kalau bisa listrik jangan sampai Rp50.000 per bulan sama makan seadanya aja. Yang penting nasi sama sayur,” jelas Paiman.

Sponsored

Hal serupa pun dilakukan oleh suami Yuni, yang merupakan seorang guru di salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Purworejo. Yuni bercerita, jumlah batang rokok yang dikonsumsi suaminya selama pandemi justru bertambah. Jika sebelumnya, suaminya mengonsumsi rokok satu bungkus per hari, sekarang dengan banyaknya waktu di rumah, suaminya setidaknya dapat menghabiskan 1,5 hingga dua bungkus rokok per hari.

Ilustrasi Pixabay.com.Padahal, sejak pemerintah menerapkan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Yuni yang sebelumnya berjualan di kantin SMK tersebut, kini tak bisa lagi menggelar lapak dagangannya. “Lha ya jelas kurang (pendapatannya-red). Sekarang cuma dari suami,” tuturnya, kepada Alinea.id, Senin (18/10). 

Perempuan 45 tahun itu menjelaskan, saat masih bisa bekerja, dia menggunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti untuk anggaran makan keluarga, uang saku ketiga anaknya, serta tagihan listrik dan wi-fi. Sementara upah sang suami, Tri (42), yang juga berstatus sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) digunakan untuk biaya sekolah anak, biaya kos anak tertuanya yang kuliah di luar kota dan cicilan kendaraan si anak tertua.

Alhamdulillah cicilan udah selesai. Tapi karena aku enggak kerja ya semua sekarang suami,” keluhnya. 

Dengan berkurangnya pendapatan keluarga, Yuni pun harus menyesuaikan kembali pos-pos pengeluaran rumah tangganya. Salah satunya adalah dengan menyunat anggaran untuk makan sehari-hari, biaya kos anak tertua, dan dana darurat keluarga. Tidak tega memang, namun langkah itu harus dilakukannya, terlebih sang suami enggan menekan pengeluaran rokoknya.

“Buat rokoknya sendiri aja paling enggak bisa habis sampai Rp1,5 juta sendiri,” katanya jengkel.

Paiman dan Tri adalah salah dua dari sekian banyak kepala keluarga yang rela menyunat anggaran kebutuhan pokok keluarganya, agar tetap bisa merokok meski dalam kondisi ekonomi sulit. Hal ini tercermin dari survei Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS SKSG - UI) berjudul Perilaku Merokok Selama Pandemi Covid-19 dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga. 

Di mana dari 799 responden yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, 62,4% diantaranya mengaku bahwa intensitas merokok tidak berubah selama pandemi. Sebaliknya, 13,9% dari total responden justru mengalami peningkatan intensitas merokok pada periode tersebut.

Berdasarkan kelompok pendapatan, proporsi responden dengan kelompok pendapatan terendah, yakni kurang dari Rp5 juta, memiliki intensitas merokok yang sama dengan responden berpendapatan tinggi Rp10 juta sampai Rp20 juta. Padahal, pada kelompok pendapatan rendah, mayoritas responden menyatakan bahwa kondisi keuangan mereka selama pandemi tergolong ‘kurang cukup’. Baik karena terkena pengurangan gaji, maupun kehilangan pendapatan lantaran pemotongan hubungan kerja (PHK) atau hilangnya mata pencaharian.

Ilustrasi Unsplash.com.

Pada akhirnya, separuh responden atau 50,86% pada kelompok pendapatan rendah beralih ke rokok dengan harga lebih murah. “Apalagi dengan adanya penjualan rokok ketengan, jadi konsumsi rokok ini tidak berubah,” ungkap Ketua PKJS SKSG - UI Aryana Satrya, saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (19/10).

Berita Lainnya
×
tekid