sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Toxic relationship: Tanda-tanda pasangan kamu psikopat?

Riset menunjukkan, individu psikopat diduga menyumbang hampir seperempat dari pelaku tindak kekerasan yang terjadi dalam hubungan asmara.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Minggu, 19 Nov 2023 19:32 WIB
<i>Toxic relationship</i>: Tanda-tanda pasangan kamu psikopat?

Baru-baru ini, nama aktor Leon Dozan menjadi sorotan, usai videonya—tampak tangannya melingkar ke leher kekasihnya aktris Rinoa Aurora—viral di media sosial. Leon tampak marah dan sempat menghina instutusi polisi.

Selain itu, beredar foto-foto lebam di tubuh Rinoa. Anak aktor laga senior Willy Dozan itu pun akhirnya ditangkap polisi pada Kamis (16/11). Leon diduga melakukan penganiayaan terhadap Rinoa.

Nasib Rinoa bisa dibilang sedikit beruntung dibanding Dini Sera Afrianti. Pada Rabu (4/10), Dini tewas akibat penganiayaan yang dilakukan pacarnya, Gregorius Ronald Tanur di Surabaya, Jawa Timur.

Dini sempat terlibat cekcok dengan anak anggota DPR dari fraksi PKB itu, yang berujung penganiayaan di area Blachole KTV, Lenmarc Mall, Surabaya. Video pasca-kejadian dan detik-detik sebelum korban meninggal ketika berada di rumah sakit sempat viral di media sosial.

Dini dan Rinoa adalah contoh mereka yang terlibat dalam toxic relationship atau hubungan beracun dalam asmara. Menurut terapis dan penulis yang mengkhususkan diri dalam masalah kecanduan, kodependensi, dan isu-isu depresi, trauma, serta kecemasan, Sherry Gaba dalam Psychology Today, istilah toxic relationship pertama kali digunakan Lilian Glass dalam bukunya Toxic People (1995).

Istilah itu digunakan untuk menunjukkan hubungan yang dibangun berdasarkan konflik, persaingan, dan kebutuhan satu orang untuk mengontrol yang lain. “Orang yang bermasalah tak menunjukkan sisi negatif mereka pada awal hubungan. Mereka sering kali sangat karismatik dan tampaknya menjadi pasangan yang ideal,” tulis Gaba.

“Kemudian, seiring waktu, mereka mulai menunjukkan sifat aslinya, menjadi ‘penguasa’, menuntut, dan secara emosional menyakiti pasangan mereka.”

Dilakukan seseorang dengan ciri-ciri psikopat

Sponsored

Gaba memberikan tanda-tanda seorang pasangan yang sudah mengarah ke toxic relationship. “Mengisolasi pasangan dari keluarga dan teman-temannya, perselisihan dan perdebatan terus menerus, menyalahkan pasangan, rasa cemburu berlebihan dan kerap berbohong, serta memanipulasi kejadian,” tulis Gaba.

Dikutip dari Discover Magazine, asisten profesor bidang ilmu perkembangan manusia dan keluarga di Purdue University, Rosie Shrout mengungkapkan, toxic relationship bisa menyebabkan peristiwa kardiovaskular negatif, meningkatkan tingkat kortisol, mengurangi respons kekebalan tubuh, dan meningkatkan peradangan dalam tubuh.

“Pada akhirnya, toxic relationship menimbulkan stres pada tubuh dan pikiran,” kata Shroul.

Sementara, dilansir dari Discover Magazine, asisten profesor psikiatri klinis di Irving Medical Center Columbia University, Ryan S. Sultan mengatakan, toxic relationship punya dampak yang berlangsung lama.

“Dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma, serta kehilangan harga diri,” tutur Sultan.

Bahkan, enam peneliti dari Kanada, yakni Adelle Forth (Carleton University), Sage Sezlik (University of Ottawa), Seung Lee (Carleton University), Mary Ritchie (Western University), John Logan (Carleton University), dan Holly Ellingwood (Public Safety Canada) menemukan, toxic relationship terkait dengan pasangan yang psikopat.

Dalam hasil riset mereka berjudul “Toxic relationships: The experiences and effects of psychopathy in romantic relationships” terbit di International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, November 2022 disebutkan, psikopati adalah sindrom yang ditandai ciri-ciri interpersonal (misalnya, penipu), afektif (misalnya, emosi yang dangkal), gaya hidup (misalnya, impulsif), dan deviasi sosial (misalnya, pengendalian amarah yang buruk).

“Individu psikopat cenderung bertindak impulsif dan tidak terpengaruh oleh konsekuensi dari tindakan mereka, asalkan tindakan tersebut mengarah pada kepuasan diri atau keuntungan pribadi yang cepat,” tulis Forth dan kawan-kawan.

“Lebih lanjut, mereka kurang memiliki sensitivitas moral.”

Forth dkk menulis, psikopati disebut sebagai salah satu pemicu terkuat dari kekerasan dalam hubungan asmara, dibandingkan faktor lain, seperti perilaku antisosial atau pengaruh alkohol. Para peneliti melanjutkan, prevalensi kekerasan dalam hubungan asmara adalah masalah global, terjadi relatif tinggi, terutama menimpa perempuan. Menurut mereka, di Amerika Serikat, satu dari empat perempuan dan satu dari 10 pria mengalami kekerasan fisik atau seksual.

“Tingkat prevalensi yang jauh lebih tinggi ditemukan jika penelitian melibatkan kekerasan emosional—misalnya diancam, direndahkan, atau dihina di depan orang lain—kekerasan finansial, atau kekerasan siber,” tulis Forth dkk.

Riset Forth dkk menguji 457 individu berbahasa Inggris, terdiri dari 48 pria dan 409 perempuan dengan rentang usia 21 hingga 71 tahun. Responden sudah terlibat dalam hubungan asmara dengan pasangan yang punya tingkat ciri-ciri psikopati dari sedang hingga tinggi. Lamanya berhubungan antara beberapa bulan hingga lebih dari 20 tahun. Sebagian besar korban dan pelaku berasal dari etnis Kaukasia.

“Hasil kami sangat menunjukkan bahwa meskipun korban pasangan intim psikopat mengalami berbagai konsekuensi kesehatan fisik dan mental, keparahan gejala ini memang dipengaruhi oleh faktor lain, seperti strategi penanganan, tingkat ciri-ciri psikopatik yang ada, jenis dan kekerasan,” tulis Forth dkk.

Forth dkk pun menemukan, para korban mengalami efek psikologis dan fisik yang sebanding dengan gajala yang dilaporkan oleh korban kriminal umum, pelecehan di tempat kerja, dan kekerasan pasangan asmara.

“Konsekuensi ini beragam, mencakup emosional, efek biologis, kesulitan perilaku, dan kesulitan interpersonal, ujar Forth dkk.

“Terutama, sebagian besar korban melaporkan bahwa keterlibatan intim mereka dengan pasangan dengan tingkat psikopati yang tinggi telah menghasilkan dampak sedang pada kesehatan fisik dan dampak ekstrem pada kesehatan mental.”

Terlepas dari itu, dinukil dari Psychology Today, Sherry Gaba membeberkan beberapa hal yang perlu dilakukan, untuk keluar dalam toxic relationship. Pertama, menghargai diri sendiri dengan mengatur ulang prioritas hidup kita, serta belajar peduli terhadap diri sendiri.

Kedua, membangun kembali hubungan dengan teman-teman dan keluarga. Ketiga, melakukan terapi dan konseling untuk memahami hubungan yang tak sehat dari seorang pasangan. Keempat, menyadari bahwa kita berada dalam toxic relationship.

Kelima, menetapkan batasan yang jelas tentang apa yang dapat diterima dalam sebuah hubungan. Keenam, membuat rencana masa depan, mencakup tujuan pribadi, karier, dan hubungan yang sehat. Keenam, berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapat pandangan dan dukungan tambahan. Ketujuh, memberi waktu untuk proses pemulihan.

“Pemulihan tidak terjadi dalam semalam. Berikan diri Anda waktu dan kesabaran untuk pulih sepenuhnya dari pengalaman yang toxic,” kata Gaba.

Berita Lainnya
×
tekid