sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kaukus Muda Betawi sebut kejaksaan berwenang usut korupsi, ini paparannya

Adanya kewenangan mengusut kasus korupsi diklaim membuat kejaksaan superpower.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Jumat, 16 Jun 2023 10:28 WIB
Kaukus Muda Betawi sebut kejaksaan berwenang usut korupsi, ini paparannya

Kaukus Muda Betawi menilai, kejaksaan berwenang mengusut kasus rasuah selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Sebab, tugas tersebut secara tersirat tertuang di dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.

Demikian disampaikan Ketua Bidang Hukum Kaukus Muda Betawi, Mohammad Hisyam Rafsanjani, kepada Alinea.id, Jumat (16/6), dalam merespons gugatan mengamputasi peran "Korps Adhyaksa" menangani kasus tindak pidana korupsi (tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan tersebut teregistrasi dalam perkara nomor 28/PUU-XXI/2023.

"Kewenangan konstitusional kejaksaan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor memang terlihat agak sumir karena tidak diatur secara eksplisit di dalam UUD 1945. Akan tetapi, masuk ke dalam fungsi-fungsi badan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945," ujarnya.

"Ketentuan kewenangan Kejaksaan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor diatur lebih lanjut di dalam UU (Undang-Undang) Kejaksaan," tambah praktisi hukum ini.

Hisyam melanjutkan, dalam praktik ketatanegaraan, kejaksaan bersama Polri dan KPK memiliki fungsi supervisi dan/atau koordinasi dalam proses penyelidikan hingga penuntutan kasus korupsi. Namun, ia mengingatkan, proses penegakan hukum itu harus sesuai ketentuan.

"Proses penegakan hukum tipikor yang dilakukan oleh Polri, kejaksaan, dan KPK harus tetap mengedepankan prinsip berkeadilan dan kepastian hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," katanya.

Selain itu, peningkatan proses hukumnya (due process of law) dari penyelidikan kepenyidikan, dan kepenuntutan harus memenuhi minimal 2 alat bukti. Ini diatur dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup".

Negara, sambung Hisyam, pun menyediakan mekanisme praperadilan apabila ada pihak-pihak yang merasa diperlakukan tidak adil atau proses hukum melanggar ketentuan. Keberadaan sarana tersebut sebagai bentuk pelaksanaan prinsip check and balances.

Sponsored

"Dengan demikian, prinsip check and balances antara kewenangan negara yang diberikan kepada aparatur penegak Hukum (APH), dalam hal ini kejaksaan dengan hak warga negara akan mencerminkan rasa keadilan serta menjunjung tinggi prinsip dasar hak asasi manusia (HAM) di tengah-tengah masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi," urai anggota Peradi itu.

Diketahui, seorang advokat bernama Yasin Djamaludin mengugat kewenangan jaksa mengusut kasus korupsi ke MK. Dalam petitum permohonannya, ia meminta MK menyatakan UU Kejaksaan Pasal 30 ayat (1) huruf d; UU Tipikor Pasal 39; serta UU KPK Pasal 44 ayat (4), dan Pasal 44 ayat (5) khusus frasa "atau kejaksaan"; Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa "atau kejaksaan"; dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa "dan/atau kejaksaan" bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pemohon mendalilkan sejumlah pasal yang diujikan tersebut inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalihnya, adanya hak penyidikan kasus korupsi membuat kejaksaan superpower karena memiliki kewenangan lebih selain melakukan penuntutan dan penyidikan.

Pemberian wewenang sebagai penyidik dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan pun dianggap membuat jaksa dapat sewenang-wenang melakukan penyidikan. Kilahnya, prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan dilakukan sekaligus oleh jaksa sehingga tidak ada kontrol penyidikan dari lembaga lain serta kerap mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti pemeriksaan saksi/ahli dengan tujuan membuat terang suatu perkara.

Berita Lainnya
×
tekid