close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dan peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta, Jumat (2/9/2022). Alinea.id/Gempita Surya
icon caption
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dan peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta, Jumat (2/9/2022). Alinea.id/Gempita Surya
Nasional
Jumat, 02 September 2022 18:21

Peneliti ICW-Perludem kritik Tito Karnavian soal penunjukan Pj kepala daerah

Isu pengangkatan Pj kepala daerah harus diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP), bukan melalui Permendagri.
swipe

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, mengkritik Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, yang tidak melaksanakan mandat konstitusi terkait penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah.

Kurnia menilai, Tito berpura-pura tidak mengetahui aturan pengangkatan Pj kepala daerah, sebab hingga saat ini ia masih bersikukuh sudah sesuai peraturan yang berlaku.

Dikatakan Kurnia, Tito menegaskan pengangkatan Pj kepala daerah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Namun, sebenarnya hal itu diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah.

"Kami menganggap itu tindakan yang pura-pura tidak tahu, karena sudah ada UU Pemerintahan Daerah yang menegaskan dalam Pasal 86 ayat (6). Isu pengangkatan Pj kepala daerah harus diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP), bukan melalui Permendagri," kata Kurnia dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta, Jumat (2/9).

Selain itu, Tito juga tidak menindaklanjuti tindakan korektif dari Ombudsman dalam persoalan ini. Padahal, tindakan korektif Ombudsman seharusnya dilakukan tindak lanjut dalam kurun waktu 30 hari.

Pengabaian mandat konstitusi tersebut dikhawatirkan mengulang kejadian pada 2021 terkait alih fungsi pegawai KPK yang gagal mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK). Saat itu, Ombudsman sudah memberikan kesempatan tindakan korektif kepada KPK namun tidak dilakukan.

Oleh karena itu, Ombudsman membuat rekomendasi yang kemudian disampaikan kepada presiden dan ditembuskan ke DPR.

"Apakah setelah senjata pamungkas Ombudsman itu diberikan ke presiden, ada perbaikan? Tidak. Maka dari itu, bukan tidak mungkin produk pamungkas Ombudsman kali ini akan ditindaklanjuti oleh presiden dan Mendagri," ujar dia.

Untuk itu, Kurnia menilai Mendagri telah melanggar peraturan perundangan, sebab tenggat waktu yang diberikan Ombudsman sudah lewat. Dalam UU Ombudsman ditegaskan pada Pasal 38 ayat (1) yang menyatakan, rekomendasi wajib dijalankan bukan hanya terhadap terlapor tapi juga dijalankan oleh atasan terlapor, dalam hal ini adalah Presiden Jokowi.

"Jadi, tidak ada pilihan lain bagi presiden untuk menegur Mendagri. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mencopot Tito, karena tidak menghargai partisipasi publik dan melanggar peraturan perundangan, dan bersikukuh dengan konsep peraturan Mendagri tersebut," jelas Kurnia.

Ditambahkan peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, penunjukan Pj kepala daerah saat ini tentu berbeda dengan penunjukan Pj pada waktu-waktu sebelumnya, seperti 2018 atau 2019. Untuk itu, perlu ada aturan baru yang lebih relevan dengan kondisi saat ini.

Perbedaan tersebut dilihat dari waktu atau durasi jabatan yang cukup panjang, yakni 1-2 tahun. Selain itu, soal jumlah wilayah di mana mayoritas daerah di Indonesia baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota nantinya akan dipimpin oleh Pj kepala daerah.

"Yang jadi persoalan hari ini adalah, ada wacana akan dibentuk aturan pelaksana yang baru, tetapi dalam bentuk Permendagri," ujar Kahfi.

Kahfi mengatakan, penunjukan Pj kepala daerah merupakan urusan pemerintah, yang juga diatur dalam UU Pilkada. Sehingga, pembentukan peraturan pelaksana yang menjelaskan mekanisme dalam menunjuk Pj kepala daerah harus berada dalam level Peraturan Pemerintah (PP).

"Bukan dalam level Permendagri, karena ini bukan urusan Kemendagri secara internal, tapi ini urusan pemerintah di mana Kemendagri menjadi kementerian pelaksananya," paparnya.

Oleh karena itu, imbuh Kahfi, pemerintahan didesak untuk segera membentuk aturan pelaksana yang berbentuk PP terkait penunjukan Pj kepala daerah. Selain itu, pembentukan aturan pelaksana ini perlu melibatkan partisipasi masyarakat sipil, sehingga  dapat menjamin prinsip-prinsip demokrasi yang digunakan untuk menunjuk Pj kepala daerah.

img
Gempita Surya
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan