Pemilu 2019: Makan korban dan perlu evaluasi
Pemilu serentak menyisakan berbagai masalah. Salah satunya, memakan korban petugas KPPS hingga ratusan jiwa.

Pada 22 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan merampungkan penghitungan suara Pemilu 2019. Pascapencoblosan, suasana politik diwarnai saling klaim kemenangan dan tudingan kecurangan.
Di samping itu, pemilu serentak—pemilihan calon anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres)—yang dilakukan perdana sepanjang sejarah Indonesia menyisakan sejumlah masalah. Salah satu yang paling membetot sorotan publik adalah banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal.
Sikap Effendi Gazali
Pengamat komunikasi politik Effendi Gazali menjadi orang yang disalahkan dalam kasus banyaknya petugas KPPS yang wafat. Effendi merupakan pengaju judicial review (uji materi) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal 2014.
Di dalam sidang itu, MK mengabulkan permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi bahwa pelaksanaan pemilu serentak akan dilakukan, tetapi baru dilaksanakan pada 2019.
Tak pernah terlintas di dalam benak Effendi pemilu serentak akan menimbulkan kematian petugas KPPS. Menurutnya, sebelum pelaksanaan, KPU sudah melakukan simulasi guna mendeteksi kesulitan teknis pemilu serentak.
"Saya juga mencoba memahami simulasi KPU di lebih 300 TPS (tempat pemungutan suara), namun tidak mendeteksi sama sekali kelelahan fisik yang sampai menyebabkan kematian," kata Effendi saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (17/5).
Meski begitu, ia tak mau lepas tanggung jawab. Ia mengaku siap dengan konsekuensi hukum, bila ada instrumen pidana yang bisa menjeratnya.
"Selaku ilmuan, saya diajarkan termasuk oleh Buya Syafii Maarif, jangan pengecut. Kalau ini dikaitkan dengan JR (judicial review), lalu diseret pengaju JR, saya siap (mendapat hukuman)," ujar Effendi.
Sebelumnya, tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menulis artikel “Sistem Pemilu yang Membunuh” di harian Republika edisi 30 April 2019. Di dalam artikel itu, Buya Syafii menuding Effendi Gazali sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pemilu serentak, yang menimbulkan kejadian kematian petugas KPPS. Effendi dianggap tak memikirkan manajemen pemilu serentak yang rumit dan melelahkan.
Menanggapi formula pemilu ideal, Effendi mengaku energi elite politik tersita pada masalah lain, sehingga mengabaikan kerumitan teknis pelaksanaan pemilu serentak.
Menurutnya, saat mengajukan judicial review ke MK, saran untuk memisahkan dua pemilu dengan maksud mengurangi beban, sudah dilontarkan saksi. Usai diputus MK pada 23 Januari 2014, ada jeda waktu yang panjang bagi KPU maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendesain manajemen pelaksanaannya. Menurutnya, pemilu yang dilakukan secara serentak tidak harus dilaksanakan bersamaan pada hari dan waktu yang sama. Opsi lainnya, bisa dipisah antara pemilu pusat dan daerah.
Effendi menyayangkan, jeda waktu itu tak dimaksimalkan mengatur teknis pemilu di lapangan. Para elite politik justru terkuras energinya pada perdebatan untuk menangkal hoaks.
"Sayangnya kita tidak memiliki waktu yang lebih mencurahkan perhatian kita pada aspek teknis tersebut," kata dia.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Kejahatan anak era kiwari: Dari pencurian hingga penganiayaan
Senin, 27 Mar 2023 06:38 WIB
Turis asing berulah, perlukah wisman mendapat karpet merah?
Minggu, 26 Mar 2023 11:15 WIB