sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bahas pilkada, Mahfud MD singgung pertarungan Prabowo dan Jokowi di era SBY

Prabowo didukung sekitar 60% kekuatan parlemen saat Pilpres 2014.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 14 Okt 2020 14:42 WIB
Bahas pilkada, Mahfud MD singgung pertarungan Prabowo dan Jokowi di era SBY

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengklaim, masyarakat sempat berkeyakinan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung merusak. Momentum ini dimanfaatkan DPR dengan mengesahkan undang-undang terkait, di mana pilkada dilakukan DPRD, 26 September 2014.

Saat itu, sambung dia, nyaris seluruh partai politik di parlemen sepakat. Hanya Fraksi Partai Demokrat yang menolak dan memilih keluar saat paripurna pengesahan (walkout/WO). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun meresponsnya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada, di mana pemilihan kembali dilakukan secara langsung.

"Saat pengesahan itu terjadi bersamaan dengan kontestasi antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi (melalui Pemilihan Presiden/Pilres 2014)," ucapnya dalam webinar, Rabu (14/10).

Pada saat itu, lanjut Mahfud, Prabowo diusung sejumlah partai dan secara kuantitas unggul di "Senayan". Sekitar 60%. Partai Amanat Nasional (PAN), Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya.

Adapun Joko Widodo (Jokowi) disokong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sedangkan Demokrat memilih tidak mengusung keduanya secara kelembagaan.

Meski demikian, Jokowi memenang Pilpres 2014. "Kemudian dalam proses pengesahan undang-undang itu ada pikiran, kalau Pak Prabowo menang di parlemen, nanti seluruh parlemen, kepala daerah di Indonesia dikuasai kelompoknya Pak Prabowo," sambungnya.

Jika proses pemilihan tetap dipilih DPRD, menurut Mahfud, pemerintahan ke depannya bakal tidak stabil. Karenanya, terjadi pergeseran pendapat tentang pilkada sebaiknya tetap dilakukan secara langsung dibanding oleh dewan.

"Legislatif dikuasai oleh koalisi Pak Prabowo, koalisi Pak Jokowi menguasai eksekutif. Itu pecah," kata dia. Ini berbeda dengan rezim Orde Baru (Orba), di mana stabilitas terjaga sekalipun pemilihan gubernur hingga wali kota/bupati dilakukan DPRD lantaran pemerintah sentralistik.

Sponsored

Meski demikian, pemilihan kepala daerah oleh DPRD, baik saat reformasi maupun Orba, tetap menyebabkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) secara masif. Pun tidak demokratis.

"KKN-nya (era Orba) terlalu sentralistik, yang mana kepala daerah tidak dipilih DPRD. Sebenarnya, dipilih oleh ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar, red). Penentunya itu saja. Kalau itu tidak setuju, orang tidak bisa jadi kepala daerah meskipun formalnya harus lewat DPRD," tandas Mahfud.

Berita Lainnya
×
tekid