sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Suara pesimis orang-orang pinggiran terhadap pemilu

“Sudah capek mikirin hidup, masa mikirin pemimpin (lagi). Kita mah mikirin besok makan apa?"

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Jumat, 25 Agst 2023 06:07 WIB
Suara pesimis orang-orang pinggiran terhadap pemilu

“Sudah capek mikirin hidup, masa mikirin pemimpin (lagi). Kita mah mikirin besok makan apa? Ngopi gimana?” kata Kadiman, 47 tahun, seorang nelayan yang sejak 2007 tinggal di Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara, saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (21/8).

Siang itu, dari bale sebuah gardu kecil, mata Kadiman menatap pipa-pipa beton yang berjejer di tepian Sungai Cakung Drain. Pipa-pipa beton yang bakal digunakan sebagai tanggul laut proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) itu membuat kapal-kapal nelayan tradisional sejenak harus menyingkir, menunggu pembangunan rampung.

Kondisi ekonomi tak menentu membuat Kadiman sudah tak mau memikirkan soal politik, apalagi pemilu. Ia tinggal seorang diri di rumah kontrakan di Kampung Nelayan, Cilincing, usai bercerai dan tiga anaknya menikah. Ia mengaku, sebagai nelayan, hidupnya kian susah.

“Sekarang kadang dapat (ikan), kadang enggak. Sampah makin banyak, perahu kecil enggak bisa lewat,” ujar Kadiman.

Hidup dalam kesulitan ekonomi

Selain ketidakpastian mendapatkan ikan, modal melaut juga membuatnya pusing. Bahan bakar nelayan jaring biasanya menghabiskan 5 hingga 10 liter bensin, dengan harga seliter Rp9.000.

“Kalau nelayan jaring pendapatan kadang-kadang Rp300.000-Rp500.000. Itu pendapat kotor. Kalau hitungan bersih Rp150.000,” ucapnya.

Uang sebesar itu tak semua masuk kantong Kadiman. Jika berangkat dengan dua orang, maka harus dibagi dua. Belum lagi, jatah untuk juragannya.

Sponsored

“Ya, sudah kebagiannya Rp30.000. Kalau juragannya kasihan, dikasih Rp50.000,” kata dia.

Pedagang mainan balon berada dekat alat peraga kampanye (APK) calon legislatif (Caleg) yang terpasang di bangunan kawasan kota tua Ampenan, Mataram, NTB, Senin (11/2/2019)./Foto Antara/Ahmad Subaidi

Namun, jika lagi mujur, ia bisa membawa banyak ikan dan penghasilan hariannya bakal lebih tinggi. “Kalau rezeki 30-40 kilogram (ikan) dapat sehari. Kondisi kayak gitu, ya satu minggu cuma satu sampai dua kali,” tuturnya.

Kadiman mengatakan, sekalipun sudah mendekati tahun politik, tak pernah ada politikus yang mampir ke Kampung Nelayan. Pejabat pun seakan “alergi” singgah.

“Dulu pas Menteri Kelautan (dan Perikanan) masih Susi (Pudjiastuti), masih bisa makan-makan di Sunter. Sekarang mah enggak ada yang datang,” ujarnya.

“Malah mahasiswa yang datang ke sini.”

Menurutnya, jika nelayan diajak untuk ikut kampanye atau kumpul-kumpul, pasti ada saja yang mengekor. Akan tetapi, partisipasi tersebut bukan sesuatu yang aktif. Sebab, keikutsertaannya memiliki motif lain.

“Yang penting nelayan mah ada rokok sama makannya. Nelayan mah dikasih kaos yang ada namanya saja bahagia,” ujar dia.

Kadiman tampak pesimis dengan para caleg atau bakal capres yang akan bertarung pada Pemilu 2024. Ia tak punya keyakinan, calon pemimpin kelak bisa dipercaya atau ingkar.

Di Jalan Tenaga Listrik, dekat Stasiun Tanah Abang dan Kali Ciliwung, Jakarta Pusat, Anhar tengah memilah botol-botol kemasan plastik hasilnya memulung, sebelum ditimbang. Di sana, beberapa bangunan semi permanen berdiri. Gerobak-gerobak terparkir di sisi-sisinya.

Sejak 2006 pria berusia 36 tahun asal Semarang, Jawa Tengah itu menjadi pemulung. Anak dan istrinya ia tinggal di kampung halaman.

“Di sini (Jakarta) ikut bos. Jadi, enggak mikirin ngontrak (tempat tinggal). Kalau ngontrak lagi enggak ada duitnya,” ujarnya, Senin sore (21/8).

Anhar memilih mengais rezeki di jalanan setiap hari, ketimbang mengikuti pemberitaan politik secara intens. Bagi Anhar, siapa pun yang menjadi pemenang dalam pesta demokrasi tak akan memengaruhi kehidupannya.

“Kalau orang kayak kita kan yang penting tiap hari makan,” ujar dia.

Pendapatan Anhar tak menentu. Tergantung seberapa banyak botol plastik yang diperoleh. “Sehari dapatlah Rp70.000,” katanya.

Meski begitu, pada Pemilu 2019, Anhar tetap menggunakan hak pilihnya. Saat itu, ia dimudahkan secara administrasi, sehingga bisa nyoblos di Jakarta. Tak perlu pulang ke Semarang.

Menjelang matahari terbenam, Agil Mubarak tengah termenung di tepi Situ Pasir Maung, Desa Dago, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Matanya menatap anak-anak yang tengah asyik berenang dan bermain getek di Situ Pasir Maung itu.

Pemuda 20 tahun ini sedang gundah. Sepanjang Agustus 2023, ia tak bekerja. Sudah hampir enam bulan, Agil menjadi buruh lepas dari pabrik ke pabrik. Agil hanya bisa bekerja jika ada “garapan” hasil dari rebutan orang-orang seprofesinya.

“Kalau pertama sudah enggak bisa, selama sebulan enggak bisa ikut lagi. Nanti rebutan lagi di bulan depan,” ujarnya, Senin (21/8).

Rebutan pekerjaan itu berlangsung lewat grup WhatsApp. Jika ada pekerjaan, para buruh lepas wajib menghubungi pengelola grup. Hanya buruh terpilih yang dapat pekerjaan.

“Kerjaannya packing barang-barang di gudang (pabrik). Ada kosmetik, makanan, minuman, pakaian, kondom juga ada. Kerjanya sebulan paling lama tiga minggu, paling cepat seminggu,” tuturnya.

Lokasi kerjanya pun berpindah-pindah. Tergantung barang yang hendak dikemas berada di gudang mana. Jika lokasi gudang masih di sekitar Tangerang, Banten, ia bakal melakoninya. Akan tetapi, bila gudangnya di Jakarta, Agil memilih mundur.

“Kerja kayak gitu uang pegang saja, tapi pas-pasan,” ujarnya.

Ia menerima upah Rp150.000 dalam delapan jam kerja. Bila sebulan dapat pekerjaan dua sampai tiga pekan, hasilnya cukup memenuhi kebutuhan hariannya. Namun, jika sebulan hanya seminggu bekerja, ia cuma bisa gigit jari.

Kondisi ekonominya yang morat-marit, membuatnya tak peduli dengan pemilu. “Bodo amat sih (sama pemilu). Mau siapa pun (yang menang pemilu), orang-orang kayak saya enggak kena impact-nya,” ujar dia.

Padahal, Pemilu 2024 adalah kali pertama ia bisa menggunakan hak pilihnya. Namun, ia mengaku, belum memastikan ikut mencoblos atau tidak. Ketidakpeduliannya itu didorong kekecewaan akibat sulit mendapat pekerjaan.

Ngelamar ke sini ke sono, berapa pabrik saya taruh (lamaran kerja), enggak dapat. Panggilan interview saja enggak. Padahal sesuai syarat,” kata pria tamatan SMA ini.

Siang itu, Selasa (22/8), Sambong duduk menunggu pembeli di lapak tisunya di Jalan Raya Dago, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Sambong sedang berjualan tisu di pinggir Jalan Raya Dago, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (22/8/2023). Alinea.id/Akbar Ridwan

“Dari pagi (jualan) ini baru laku tiga (tisu). Tiga berarti Rp45.000. Ini saya setoran setiap hari. Nanti kalau sudah setor, ambil lagi (tisunya),” kata Sambong.

Satu bundel tisu berisi 250 lembar, ia jual Rp15.000. Aktivitas itu ia jalani setiap hari, mulai pukul 05.30 WIB hingga 18.00 WIB. Jika ramai pembeli, ia mendapatkan Rp130.000 sehari.

“Saya setoran Rp100.000, buat saya Rp30.000,” tutur pria kelahiran Jakarta, yang pindah ke Parung Panjang dan mulai berjualan tisu sejak 2017 itu.

Sambong punya tiga anak. Anak pertama dan keduanya sudah bekerja dan menikah. Sedangkan anak bungsunya, meninggal dunia pada November 2021 di tempat kerjanya.

“Mendadak pingsan di tempat kerjaan. Enggak keburu dibawa ke rumah sakit,” ujar dia.

Setelah anaknya meninggal, perusahaan tempat anaknya bekerja yang berlokasi di Jakarta, tak memberikan tunjangan kematian sama sekali. Bahkan, sisa gaji bulanan tak diberikan ke keluarga.

Karena aktivitasnya, Sambong tak punya waktu memikirkan pemilu. “Tiap hari di sini (tepi jalan) saja hidupnya. Enggak ada waktu mikirin pemilu,” ujarnya.

Hanya dijadikan komoditas politik

Salah satu yang menyebabkan kelompok ekonomi bawah terkesan putus asa dengan pemilu, sebut pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis, adalah tak ada pergantian elite penguasa.

“Apalagi dia (pemilih) merasa tidak ada perbaikan apa pun. Memang faktanya tidak ada,” kata dia, Selasa (22/8).

Selama tak ada rotasi elite kekuasaan, kata Rissalwan, masyarakat kelas bawah tak akan melihat perubahan signifikan yang bakal terjadi.

“Saya bisa memahami kelompok miskin berpikir, ‘Ah nanti kalau dia menang juga akan sama kayak kemarin. Tidak ada yang terlalu baik, membanggakan, menyenangkan, membuat hidup lebih nyaman. Mereka saja yang lebih nyaman, kita tidak’,” ucapnya.

Ada dua perspektif dalam melihat kemiskinan di Indonesia, yakni struktural dan kultural. Masyarakat pinggiran di perkotaan, terang dia, sebetulnya ingin berjuang keluar dari kemiskinan, tetapi tidak bisa karena secara struktur mereka dimiskinkan.

“Karena proses politiknya hanya menjadikan kemiskinan sebagai komoditas politik. Disimpan, dipakai pada saat mau kontestasi pemilu. Sistemnya diperbaiki atau tidak? Tidak,” kata dia.

Anhar sedang memilah botol plastik bekas untuk ditimbang di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2023). Alinea.id/Akbar Ridwan

Rissalwan menerangkan, dalam mengatasi kemiskinan ada dua metode, yakni menyelamatkan dan pemberdayaan. Bantuan sosial (bansos) merupakan komponen menyelamatkan yang notabene bersifat sementara.

Menurut Rissalwan, seharusnya para kandidat pemilu berlomba-lomba adu gagasan untuk menyelesaikan masalah sosial. Apabila hal itu absen, maka korelasinya sangat besar dengan semakin berjaraknya para elite dengan orang-orang pinggiran.

Rissalwan memandang, pendekatan politik para elite kepada wong cilik saat ini sifatnya semu. Misalnya, hanya bagi-bagi sembako. Pendekatan demikian, menurutnya, akan membuat orang-orang miskin lambat laun berpikir kritis.

“Dia akan mikir, ‘Saya dibantu sembako. Terus dalam lima tahun itu, saya tidak pernah dibantu (lagi). Saya cuma diminta kasih suara’,” ujar dia.

“Jadi, ada kesadaran kritis yang sudah mulai muncul.”

Melihat kenyataan itu, menurut Rissalwan, sejatinya para elite politik tak ada yang sungguh-sungguh peduli dengan kehidupan kelompok masyarakat miskin. Jika betul-betul peduli, katanya, seharusnya bantuan yang diberikan bukan berupa barang, melainkan membangun sistem untuk perbaikan kondisi kehidupan ekonomi masyarakat.

Di samping itu, ia melihat, perjumpaan elite politik dengan masyarakat miskin juga minim. Padahal, kehadiran mereka bisa memiliki makna berbeda.

“Dalam beberapa tahun terakhir, pemimpin lebih mementingkan pemberitaannya, bukan esensi kehadiran dia dan rasa dari masyarakat yang didatangi,” ucapnya.

Segala fakta tadi, ujar Rissalwan, membuat orang-orang pinggiran tak bisa disalahkan jika pesimis terhadap pemilu. Seharusnya, tutur Rissalwan, aspirasi orang-orang pinggiran diakomodir. Bukan hanya dijadikan komoditas politik dalam pemilu.

Minimnya kepedulian masyarakat bawah terhadap pemilu, diperparah lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak betul-betul membawa isu kepemiluan hingga akar rumput.

“Isu-isu tentang keadilan, suksesi yang bersih, dan perubahan,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid