sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berebut suara generasi milenial

Generasi milenial pada 2019 akan berjumlah 85,4 juta jiwa, atau 44,6% dari total jumlah pemilih dalam Pemilu 2019.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 05 Nov 2018 18:00 WIB
Berebut suara generasi milenial

Salah seorang calon legislatif dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest Tanudjaja mengatakan, dirinya berkampanye dengan blusukan untuk menggaet pemilih. Alasannya, kampanye yang sifatnya massal, biayanya lebih mahal ketimbang blusukan langsung.

“Begitu turun lapangan, saya bagi-bagi kartu nama ke masyarakat,” katanya, ketika dihubungi beberapa waktu lalu.

Hingga kini, Rian mengaku sudah membagikan lebih dari 10.000 kartu namanya kepada masyarakat. Dirinya mengatakan, kampanye dengan strategi blusukan lebih efisien daripada harus mengumpulkan massa di lapangan.

Selain isu antikorupsi, Rian juga memanfaatkan media sosial untuk menggaet suara milenial dengan mengangkat isu yang berbeda. Menurut calon legislatif daerah pemilihan Jakarta Timur ini, milenial lebih senang kepada calon legislatif yang apa adanya.

"Di media sosial contohnya, beberapa waktu lalu kami mengangkat isu seputar SARA, seperti kasus Melliana," kata Rian.

Saat itu, menurut Rian, partai tempatnya bernaung mengirimkan dukungan untuk permohonan banding Melliana, yang tersangkut kasus lantaran mengeluhkan suara azan.

Video yang disebar di media sosial juga salah satu strategi PSI untuk menggaet suara milenial. Rian mengatakan, video partai politiknya tentang sawit dan gawai diakui menjadi polemik beberapa waktu lalu.

“Tapi kan dari situ muncul diskusi," ujarnya.

Sponsored

Meski demikian, Rian tak menampik, akan pula mengadakan kampanye mengumpulkan massa. “Untuk di lapangan mungkin nanti sesekali, bersama-sama yang lain,” katanya.

Gaet milenial

Calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno (kanan) menyapa generasi milenial saat acara "Ngobrol Gaul Bersama Sandi" di Bogor, Jawa Barat, Rabu (3/10). (Antara Foto).

Direktur Center for Election and Political Party Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (CEPP FISIP UI) Reni Suwarso mengatakan, strategi kampanye massal di lapangan, seperti yang akan dilakukan Rian Ernest, masih relevan dimanfaatkan untuk menggaet massa milenial ketika Pemilu 2019 mendatang.

“Masih bisa dengan kampanye massal. Asal ada sesuatu yang bisa milenial viralkan dari kampanye tersebut, seperti letakkan photo booth dan selfie-selfie,” kata Reni, ketika berbincang di kediamannya beberapa waktu lalu.

Menjelang Pemilu 2019, generasi milenial menjadi rebutan elite politik untuk mendulang perolehan suara. Ramai-ramai elite politik, yang terlibat dalam Pemilu 2019 nanti, menyebut diri mereka sebagai sosok yang paling milenial.

Michael Dimock di dalam artikelnya “Defining generations: Where Millennials end and post-Millennials begin” di situs Pew Research Center menyebutkan, generasi milenial merupakan orang-orang yang lahir pada 1981 hingga 1996. Orang-orang tersebut, kini berusia 22 hingga 37 tahun.

Lembaga riset Alvara Research Center melaporkan, generasi milenial pada 2019 akan berjumlah 85,4 juta jiwa, atau 44,6% dari total jumlah pemilih. Maka, tak heran ditilik dari jumlah pemilih yang besar itu, suara milenal menjadi alasan partai-partai politik, calon legislatif, serta calon presiden dan calon wakil presiden berlomba-lomba berebut suara milenial.

Menurut Reni, generasi milenial akan menentukan strategi saat berkampanye, serta pesan apa yang digunakan untuk bicara kepada mereka. Akan tetapi, elite politik yang akan terlibat dalam Pemilu 2019, lanjut Reni, tidak boleh hanya fokus untuk mendulang suara dari generasi milenial saja.

“Kalau kita berbicara milenial saja, targetnya tidak termasuk pemilih pemula atau generasi Z. Kalau berbicara Pemilu dan dikaitkan dengan target, itu tidak boleh hanya milenial,” kata Reni.

Generasi Z yang dimaksud Reni adalah orang-orang kelahiran tahun 1996. Mereka merupakan pemilih pemula dalam Pemilu 2019 mendatang. Menurutnya, pada 2014, jumlah pemilih yang termasuk generasi milenial sekitar 30% dari total pemilih. Pada 2019, jumlah generasi milenial dan Z sudah 50% lebih.

Kan besar banget, tuh,” ujar Reni.

Jangan salah strategi

Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Maman Imanulhaq (kedua kiri) bersama Ketua Umum Relawan Generasi Milenial For Jokowi-Ma'ruf Amin, Abadi Ika Setiawan (kedua kanan) menghadiri deklarasi dukungan di Rumah Aspirasi, Menteng, Jakarta, Sabtu (6/10). (Antara Foto).

Meski jumlahnya besar, untuk mendekati pemilih dari generasi milenial dan generasi Z, memiliki tantangan tersendiri. CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan, salah satu karakteristik yang bisa menyulitkan politikus untuk merebut suara mereka adalah generasi ini tak punya loyalitas tinggi.

“Mereka menentukan pilihan politiknya di hari-hari terakhir (pemilihan). Kalau mereka menentukan pilihan, masih mungkin ada perubahan. Milenial tak terpaku kepada sosok,” kata Hasanuddin, ketika dihubungi pekan lalu.

Lebih lanjut, Hasanuddin mengungkapkan, tingkat partisipasi politik milenial termasuk rendah. Keterlibatan milenial, menurutnya, dalam proses politik tergolong pasif.

“Kalaupun mereka aktif, itu hanya ada di media sosial,” ujar Hasanuddin.

Sementara itu, Reni melihat, generasi milenial dan Z sebagai generasi yang butuh dipahami dengan karakter yang egois, ambisius, serba instan, dan up-to-date. Mendekati generasi milenial dan Z, kata Reni, harus dengan mendengarkan, serta memberikan ruang untuk menyampaikan pendapat.

“Selalu katakan apa yang benar. Karena kalau bohong, mereka bisa tahu. Pendekatan untuk berkampanye pun bisa dengan pop culture,” katanya.

Reni mengingatkan, generasi milenial dan Z juga perlu terikat terhadap isu dan program. Isu dan program, katanya, pasti dikaitkan dengan ideologi yang ditawarkan.

“Apakah yang ditawarkan itu menjadi perhatiannya anak muda? Apakah bisa ikut serta?” ujar Reni.

Di sisi lain, Hasanuddin menuturkan, untuk meraih suara generasi milenial dan Z, partai politik jangan cuma bertujuan mendapatkan suara, tapi juga simpati dari mereka. Partai politik pun harus beradaptasi dengan generasi muda ini.

“Mereka tak bisa didekati dengan doktrin. Komunikasi juga sebaiknya tak satu arah,” kata dia.

Hasanuddin memperhatikan, selama ini komunikasi calon presiden dan wakil presiden di media sosial hanya bersifat satu arah. Generasi milenial dan Z, kata Hasanuddin, ingin komunikasi yang interaktif, tidak satu arah saja.

Selain itu, menurut Hasanuddin, para calon presiden harus mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi generasi milenial dan Z dalam kehidupannya.

“Isu tenaga kerja, kesejahteraan, dan lapangan pekerjaan, harus mampu diselesaikan oleh calon presiden. Sebab, generasi muda ini adalah generasi yang sedang tumbuh dalam karier,” ujar Hasanuddin.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid