sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dana APBD rawan dikorupsi calon kepala daerah petahana

Potensi penyalahgunaan APBD rawan dilakukan oleh calon kepala daerah petahana. Mahalnya biaya kampanye dan mahar politik jadi penyebabnya.

Arif Kusuma Fadholy
Arif Kusuma Fadholy Rabu, 21 Feb 2018 15:38 WIB
Dana APBD rawan dikorupsi calon kepala daerah petahana

Pilkada serentak 2018 diikuti 574 pasang calon (paslon) kepala daerah yang tersebar di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mendata, dari 574 paslon tersebut, 38% merupakan pejabat eksekutif dan legislatif, sedang 19% kepala dan wakil kepala daerah.

Peneliti FITRA, Gulfino Guevarrato mengatakan, kepala daerah yang terjerat korupsi rata-rata dari kasus suap. Hal itu karena kepala daerah berkuasa mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"APBD kalau dikelola dengan baik akan menyejahterakan masyarakat. Sebaliknya dana APBD seperti dana hibah dan bansos pun dapat disalahgunakan oleh kepala daerah atau petahana yang ingin mengikuti pilkada lagi," kata Gulfino di Cikini, Jakarta, Rabu (21/2).

Dia menerangkan, mahar politik biayanya besar. Biaya kampanye pun biayanya tidak sedikit. "Bagi-bagi duit bisa jadi lahirnya korupsi. Dana wira-wiri ke berbagai daerah daerah, menyewa lembaga survei, dan biaya para relawan butuh uang yang banyak," ujarnya.

Apalagi bagi petahana, potensi penyalahgunaan dan manipulasi dana APBD jauh lebih besar. Menurutnya, petahana rawan menyalahgunakan dana bansos dan hibah. Sebab dana bansos sendiri disetujui melalui kepala daerah dan DPRD. Tak heran jika kemudian, dana bansos mengalami kenaikan saat memasuki tahun politik.

FITRA mencatat, ada tujuh daerah yang kenaikan belanja hibah bansos di tahun 2017 sangat mencolok. Peringkat pertama ada Kabupaten Barito Kuala dengan kenaikan Rp34,2 miliar, diikuti Kabupaten Donggala berjumlah Rp13,8 miliar, Kabupaten Garut Rp9,1 miliar, Kabupaten Parigi Moutong Rp7,2 miliar, Kabupaten Deiyai Rp6,9 miliar, Kabupaten Bondowoso Rp 2,8 miliar, dan Kabupaten Kubu Raya Rp 2,08 miliar.

Modus yang kerap digunakan para kepala daerah petahana adalah dengan membuat lembaga-lembaga fiktif. Padahal sebetulnya dana bansos umumnya diberikan kepada masyarakat miskin atau mereka yang terkena risiko bencana.

"Pemberian bansos ini rata-rata fiktif atau mendapat potongan. Pencantuman keterangan pun biasanya hanya formalitas saja,” terangnya.

Sponsored

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah ( KPPOD), Robert Endi Jaweng menuturkan, dengan banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, sistem pemilu bisa kehilangan kepercayaan dari rakyat.

“Pada kenyataannya, pilkada menjadi pintu masuk korupsi. Ini bahaya. Apakah korupsi itu karena sistem atau gaya hidup?" ujar Jaweng.

Lebih lanjut ia menuturkan, dunia politik Indonesia sangat korup, terutama dari unsur partai dan elit politik. Tanpa reformasi partai politik, lanjutnya, APBD akan terus jadi bancakan. Pemilihan di parpol itu seharusnya karena kualitas bukan karena uang atau yang lain.

"Ini suatu yang nyata dan serius. Proses pencalonan, harus ada mekanisme uji publik. Termasuk identifikasi nama-nama para calon yang sudah dicalonkan, ini menjadi urusan publik. Reformasi parpol harus dilakukan," tegas Jaweng.

Berita Lainnya
×
tekid