15 tahun pemerintah tetap tak bernyali ungkap kasus Munir
Selama ini, calon pemimpin negara hanya menjadikan pengusutan HAM sebagai komoditas politik saat ingin menjadi pemimpin.
Alergi HAM
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti yang turut hadir dalam Kamisan dalam orasinya mengatakan, serentetan kondisi hukum di Indonesia saat ini begitu mengenaskan. Bahkan ia menyebut, tidak ada bedanya dengan mata rantai kekerasan yang menghinggapi pelosok negeri.
Kasus yang menimpa Sumarsih dan Suciwati adalah bukti keadilan belum benar-benar terwujud secara merata. Andaikata, Indonesia pada masa mendatang dapat unggul dalam bidang SDM dan infrastruktur, hal tersebut akan sia-sia jika negara belum memberikan keadilan secara merata bagi warganya.
"Keindahan (infrastruktur) ini hanya bisa kita banggakan di media sosial, di media massa, tapi keadilan sesungguhnya (yaitu) hak asasi, belum terpenuhi. Dan artinya apa? Ini semua akan rapuh sekali. Suatu saat nanti jangan kaget kalau tiba-tiba semua yang kita banggakan ini bisa runtuh karena ada fondasi yang tidak pernah selesai," katanya.
Pegiat HAM yang juga musisi dari Efek Rumah Kaca Cholil Mahmud pun menilai saat ini, pemerintah seperti alergi dengan HAM. Menegakan HAM seperti sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama bahkan menyebut HAM sebagai produk asing.
"Itu juga merupakan bentuk teror yang sengaja dibiarkan dan mungkin dipelihara oleh negara agar terjadi benturan terus menerus antara warga. Sehingga mereka (pejabat) bisa bercuci tangan, menyaksikan dari atas, bagaimana rakyat-rakyat kecil saling berbenturan, saling melakukan persekusi," tuturnya.