sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Uji materi UU KPK baru berpotensi timbulkan polemik

Polemik akan timbul terkait tugas KPK dalam menindak korupsi berdasarkan UU No 19 Tahun 2019.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 18 Okt 2019 13:25 WIB
Uji materi UU KPK baru berpotensi timbulkan polemik

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan UU KPK resmi berlaku. Tanpa ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari Presiden Jokowi, UU tersebut dapat dilakukan uji materi lewat Mahkamah Konstitusi (MK). 

Meski dapat dilakukan uji material (judicial review) di MK,  mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Petrus Selestinus, menilai UU No 19 Tahun 2019 tetap menimbulkan polemik. Ini terkait tugas KPK dalam menindak korupsi. 

Polemik terkait apakah KPK dibawah pimpinan Agus Rahardjo tetap boleh melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Padahal, dalam UU baru penyadapan, penggeledahan dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas.

Selanjutnya, Dewan Pengawas belum terbentuk seiring berlakunya UU KPK yang baru. Menurut Petrus, sampai saat Dewan Pengawas belum terbentuk, maka Agus Rahardjo dan kawan-kawan tetap boleh melakukan OTT. 

Hal ini merujuk pada Pasal 69 d UU KPK hasil revisi. Isinya adalah "Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah."

"Artinya OTT mengacu kepada UU Nomor 30 Tahun 2002," kata Petrus kepada Alinea pada Jumat (18/10).

Meski pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dijamin berdasarkan UU KPK sebelum revisi, sesuai dengan Pasal 69 d UU KPK, namun ketentuan Pasal 70 c UU KPK revisi telah melahirkan polemik baru.

Ketentuan Pasal 70 c dengan tegas menyatakan bahwa "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini."

Sponsored

Petrus menegaskan, ketentuan peralihan kedua pasal UU KPK revisi di atas memperlihatkan adanya pertentangan dan saling menegasikan. 

"Karena di satu pihak, yakni Pasal 69 d, membolehkan KPK untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya. Akan tetapi, di pihak lain pada Pasal 70 c mengharuskan semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK harus berdasarkan UU KPK yang baru atau hasil revisi," terang Petrus. 

Dia mengatakan, dari rumusan Pasal 69 d UU KPK revisi, maka keberadaan Dewan Pengawas KPK seakan-akan menjadi penentu berlakunya UU KPK revisi. Pertanyaannya adalah apakah pemberlakukan UU KPK sebelum revisi hanya sebatas kewenangan KPK yang memerlukan izin Dewan Pengawas, atau menyangkut seluruh pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.

"Inilah yang menjadi sumber polemik di tengah masyarakat menyikapi berlakunya UU KPK Revisi, yang kelak akan membawa UU KPK revisi ini berujung pada judicial review di MK," ujar Petrus.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini menambahkan, sebagai sebuah ketentuan peralihan, mestinya rumusan Pasal 69 d UU KPK Revisi harus diperjelas. 

Alasannya, selain rumusan dalam ketentuan peralihan itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum untuk sementara waktu.

"Karena itu rumusan pada ketentuan Pasal 69 d dan pada Pasal 70 c diperjelas, di dalam penjelasan UU KPK Revisi," beber Petrus.

Petrus menekankan, soal keberadaan Dewan Pengawas sebagai organ penting dalam tubuh KPK yang justru tidak ditegaskan secara pasti dalam UU yang baru.

"Apakah Dewan Pengawas KPK ini berada di dalam struktur yang sejajar dengan pimpinan KPK, dan menjadi bagian di dalam struktur organisasi KPK, atau Dewan Pengawas ini memiliki organisasi tersendiri dan berada dalam rumpun kekuasaan legislatif. Sebab Dewan Pengawas berperan mengawasi Pimpinan KPK dan Pegawai KPK. Mari kita lihat perjalanan UU ini dalam pelaksanaannya," pungkas Petrus.

Berita Lainnya
×
tekid