Bamsoet-Airlangga 'perang' soal mekanisme pemilihan Ketum Golkar
Bamsoet menyoroti dualisme kepengurusan yang sempat terjadi di tubuh Golkar karena ketum dipilih secara aklamasi.

Wakil Koordinator Bidang Pratama Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) menolak pemilihan ketua umum digelar secara aklamasi. Menurut dia, pemilihan ketum secara aklamasi harus dihindari karena sempat memunculkan dualisme kepengurusan di tubuh Golkar.
"Yang pasti kita punya pengalaman pahit dan kita pernah pecah. Ada (Munas) Ancol dan Bali. Bali itu kan pemaksaan aklamasi yang melahirkan Ancol," kata Bamsoet usai menghadiri Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, Kamis (14/11).
Menurut dia, proses pemilihan ketua umum secara aklamasi tidak bisa dilakukan karena calon ketum bukan hanya Airlangga Hartarto. Apalagi, Bamsoet mengaku ia pun belum memutuskan tidak akan maju sebagai salah satu kandidat.
"Kalau kita lihat konsolasi yang ada di mana calon tidak hanya satu. Ada Riddwan Hisjam, Indra Bambang Utoyo. Saya kan bilang belum memutuskan. Bukan berarti saya tidak maju. Kita lihat perkembangan ke depan," ujar dia.
Dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) Golkar, pemilihan ketua umum secara aklamasi memang dimungkinkan. Syaratnya, seorang bakal calon yang maju harus mampu mengumpulkan surat dukungan sebanyak 50% plus 1.
Ditemui terpisah, calon petahana Airlangga Hartarto mengakui kubunya memang ingin proses pemilihan ketua umum digelar secara aklamasi. "Aklamasi itu bagian dari demokrasi juga," kata Airlangga.
Terkait perpecahan yang disinggung Bamsoet, Airlangga mengatakan, ia bakal menyerahkan sepenuhnya keputusan terkait mekanisme pemilihan ketum kepada pemilik suara.
"Aklamasi bukan pertama kali. Pertama kali waktu Pak Ical (Aburizal Bakrie). Kedua pada saat munaslub kemarin. Golkar sudah melaksanakan itu," jelas dia.
Dorong musyawarah mufakat
Ketika diminta tanggapan, Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie berharap agar pemilihan ketua umum digelar melalui musyawarah mufakat. "Kalau bermusyawarah kan baik. Tenaga kan bisa disimpan untuk berkompetisi dengan pihak lain," kata dia.
Pernyataan Ical itu diamini Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Golkar Nusa Tenggara Timur (NTT) Melki Laka Lena. Menurut dia, Golkar bakal mengutamakan musyawarah mufakat untuk memilih ketua umum baru. "Nah, kalau gak bisa baru dilakukan pemilihan (voting)," kata dia.
Melki menerangkan, syarat untuk menjadi calon ialah mendapat 30% suara dukungan dari DPD I. Jika tidak ada calon lain yang mendapatkan dukungan sebesar itu, maka mekanisme pemilihan secara aklamasi dimungkinkan.
"Kalau misalnya yang punya suara itu 555, maka dia (calon) minimal harus mendapat dukungan 117 suara. Kalau dia tidak mendapat 117 suara, maka dia tidak menjadi calon. Kalau hanya satu calon dari beberapa bakal calon, berarti langsung aklamasi," kata dia.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Cerita mereka yang tinggal di rusun reyot DKI: "Kita juga bayar sewa, masa dicat aja enggak?"
Selasa, 03 Okt 2023 12:15 WIB
Kemarau panjang dan sulitnya akses air bersih di Jakarta
Senin, 02 Okt 2023 06:08 WIB