sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sepak terjang FPI dan polemik perpanjangan izin ormas

Polemik perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) di Kemendagri terus bergulir hingga kini.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 13 Jun 2019 17:04 WIB
Sepak terjang FPI dan polemik perpanjangan izin ormas

Menimbang perizinan FPI

Meski muncul petisi daring, namun pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf memandang, petisi itu tak bisa dijadikan landasan hukum untuk menolak perpanjangan izin FPI.

“Keputusan pertimbangan perpanjangan izin FPI seharusnya berdasarkan fakta otentik, data valid, dan informasi akurat,” kata Asep saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (12/6).

Segala pertimbangan tersebut, menurut Asep, seyogyanya juga harus objektif. Asep mengatakan, keputusan perpanjangan izin seharusnya juga berdasarkan hasil kajian agar tak terkesan diskriminatif.

Asep mengingatkan, polemik terkait izin FPI tetap harus selaras dengan peraturan yang berlaku. Sebab, ketuk palu izin ormas rentan melanggar hak asasi manusia, dalam hubungannya berserikat dan berkumpul, seperti yang ada dalam UUD 1945 Pasal 28 maupun Pasal 28e ayat 3.

"Misalnya, FPI tidak bisa diperpanjang alasannya apa? Apa karena banyak kegiatan FPI yang menyimpang?” ujarnya.

Apa pun keputusannya kelak, kata Asep, bisa fatal bila tak ada alasan yang kuat. Bila perlu, Asep menyarankan untuk membuat kajian, lalu membuktikan dan menjelaskannya kepada publik.

“Jadi, siapa yang keberatan? Mengapa? Apa buktinya? Dan seterusnya. Jika tidak ada, itu sewenang-wenang namanya,” ujar Asep.

Sponsored

Selain itu, keputusan perpanjangan izin FPI perlu mempertimbangkan kepentingan publik, yang sudah terakomodir di dalamnya. Sehingga bersih dari alasan-alasan subjektif.

Sementara itu, peneliti senior Populi Center Afrimadona mengingatkan, dalam masa sengketa hasil pilpres sekarang ini, keputusan perpanjangan izin FPI tergolong rawan ditafsirkan secara politis. Sama seperti Asep, Afrimadona menyarankan pemerintah menimbang perpanjangan izin FPI secara objektif.

“Pemerintah harus memiliki bukti-bukti yang cukup kuat dan logis sebagai bahan pertimbangannya. Pemerintah pun perlu mengkalkulasi segala dampak keberadaan FPI,” tutur Afrimadona ketika dihubungi, Rabu (12/6).

Seandainya ingin membubarkan FPI, Afrimadona mengatakan, pemerintah harus punya basis hukum yang kuat. Menurutnya, di beberapa negara, petisi memang bisa memengaruhi keputusan politik. Namun, ia menerangkan, persoalan pencabutan izin ormas adalah keputusan legal, bukan politik.

“Idealnya harus terdapat basis hukum untuk membuat keputusan legal,” ucapnya.

Gambar foto diri Habib Rizieq Shihab dalam sebuah aksi demonstrasi. /Antara Foto.

Peluang perpanjangan izin

Menanggapi polemik perpanjangan izin FPI, Direktur Organisasi Kemasyarakatan, Politik, dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Lutfi T.M.A mengonfirmasi, sejauh ini pihak FPI belum ada yang mengajukan perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT). Sehingga, pihaknya belum bisa mengambil sikap atas beredarnya petisi di Change.org.

"Petisi yang menolak maupun yang mendukung akan kami dengar. Nanti kami kaji," tutur Lutfi saat dihubungi, Kamis (13/6).

Mengenai pengajuan perpanjangan SKT, Lutfi mengatakan, prosedurnya sama persis dengan pendaftaran pertama kali, seperti mengajukan nomor pokok wajib pajak (NPWP), domisili, program kerja, sekretariat, kepengurusan, dan surat pernyataan masing-masing bersedia didapuk jadi pengurus.

Lutfi mengatakan, persyaratan pembentukan ormas pun ketat dan selektif. Akan tetapi, sepanjang memenuhi persyaratan, izin FPI akan tetap diperpanjang. Tata cara pendaftaran ormas sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017.

Ada sejumlah persyaratan yang tak kalah penting. Lutfi mengungkapkan, ormas dilarang menggunakan lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan instansi pemerintah. Selain itu, ormas juga tak boleh saling bermusuhan dengan menggoreng isu suku, agama, ras, dan antargolongan.

Di samping itu, ormas pun tak boleh menyalahgunakan, menistakan, dan menodai agama. Kemudian, tidak melakukan aksi kekerasan, tidak melanggar ketertiban umum, serta tidak merusak fasilitas umum.

Tak hanya itu. Menurut Lutfi, sesuai ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang diteken Presiden Jokowi pada 10 Juli 2017, Pasal 59 ayat 3 huruf d, ormas tak boleh menjalankan tugas dan wewenang penegak hukum, seperti menangkap, menahan, atau investigasi.

"Jika melanggar, nanti langsung kami berikan sanksi. Tapi sebelumnya akan kami beri peringatan terlebih dahulu," ujar Lutfi.

Yang paling fatal, kata Lutfi, bila ormas sudah melanggar asas Pancasila dan UUD 1945. Maka, pengajuan izin otomatis ditolak.

"Sudah sekian puluh tahun bangsa Indonesia sepakat terhadap asas Pancasila. Kok tiba-tiba diubah, kan enggak bisa. Enak saja mau mengubahnya," kata Lutfi.

Penolakan perpanjangan izin dialami Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gafatar pernah mengajukan SKT sebanyak tiga kali. Pertama kali, ormas ini mendaftar pada November 2011. Lantas, pada April dan November 2012, ormas ini kembali mengajukan SKT. Namun, semuanya ditolak. Ormas ini dianggap pemerintah berhalauan radikal dan dinyatakan terlarang.

Pemerintah pun membubarkan HTI pada 19 Juli 2017, dengan mencabut status badan hukum ormas tersebut. HTI dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, karena mendakwahkan doktrin khilafah.

Di sisi lain, Asep Warlan Yusuf menuturkan, jika ormas hanya melanggar ketertiban umum kemudian dibubarkan, riskan terjebak opini subjektif. Jika ormas membuat kerusuhan atau keributan, sebut Asep, solusinya bukan dibubarkan, tetapi sanksi pidana atau pembekuan.

Asep menilai, seiring dengan usianya yang hampir 21 tahun, FPI sudah memenuhi persyaratan dan prosedur SKT di Kemendagri. Menurutnya, FPI punya kebermanfaatan dalam membina kesadaran bernegara, andil dalam mencerdaskan bangsa, dan memupuk bibit persaudaraan.

“Kalau punya manfaat berarti punya peluang untuk diperpanjang kan? Beda bila merugikan masyarakat dan melanggar asas Pancasila dan UUD 1945, pasti cenderung dipertimbangkan kembali untuk tidak diperpanjang,” ujar Asep.

Berita Lainnya
×
tekid